Makalah Individu
FORMULASI
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Disusun
Oleh :
Irvan Khoiri,
S.Pd.I
1422010030
Program Studi : Ilmu Tarbiyah
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Achmad Asrori, MA
Dr. H. Jamal Fakhri. M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN
INTAN LAMPUNG
2015
M/ 1436 H
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt
yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi besar Muhammad saw yang kita harapkan syafaatnya nanti di hari akhir.
Makalah ini berjudul “Formulasi
Epistemologi Pendidikan Islam”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam dengan dosen Pengampu Dr. H.Achmad Asrori, M.A dan Dr. H.
Jamal Fakhri, M.Ag.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan, hal tersebut semata-mata kerena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang penulis
miliki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pembaca.
Akhirnya penulis memohon taufik dan hidayah-Nya kepada
Allah Rabb seluruh alam. Dan semoga makalah ini bermanfaat pribadi penulis dan bagi
kita semua. Amiin....
Bandar
Lampung, November 2014
Penulis,
Irvan Khoiri,
S.Pd.I
1422010030
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ......... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... ......... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ......................................................... ......... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam............................. ......... 2
B.
Pengaruh Pendidikan Barat terhadap Pendidikan
Islam.................. 3
C.
Sistem Epistemologi Pendidikan Islam............................................. 5
D.
Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam........................ ......... 7
E.
Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam.............. ......... 8
F.
Formulasi Epistemologi Pendidikan Islam.............................. ......... 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................. ......... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap ilmu pengetahuan
seharusnya diinspirasi dari hasil kerja epistemologinya. Pendidikan Islam harus
dibangun dan dikembangkan berdasarkan epistemologi untuk menciptakan pendidikan
Islam yang bermutu dan berdaya saing tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan
pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila didasarkan
epistemologi pendidikan Islam.[1]
Sehingga pengembangan pendidikan Islam secara konseptual maupun secara
aplikatif harus dibangun dari epistemologi pendidikan Islam secara menyeluruh.
Pertanyaan yang
dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut apa yang dimaksud pengetahuan
yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara mengetahui dan sebagainya.
Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis berkaitan dengan pertanyaan
mengenai dasar pencapaian pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta
ketepatan berbagai metode mencapai kebenaran yang dapat dipercaya, maka
epistimologi dan metafisika menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan.[2] Hal
ini dikarenakan dunia pendidikan merupakan wahana berlangsungnya proses
pewarisan kebudayaan, utamanya berupa ilmu pengetahuan. Kedudukan epistimologi
menjadi penting artinya mengingat di dalamnya dikaji hakekat ilmu atau
pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan
bagaimana pengertian epistemologi pendidikan Islam, sistem epistemologi
pendidikan Islam, pembaharuan epistemologi pendidikan Islam, upaya membangun
epistemologi pendidikan Islam, dan formulasi epistemologi pendidikan Islam.
Hal-hal itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa jauh
epistemologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat
penting dan mendesak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Epistemologi Pendidikan Islam
Kata epistemologi
berasal dari bahasa yunani episteme
yang berarti pengetahuan, dan logos
yang berarti kata, pikiran, percakapan atau ilmu. Dalam bahasa Brauner dan
Burns, episemologis diungkapkan dengan …the
branc of philosophy which investigated the origin, structure, methodes and
validity of knowledge.[3]
Secara tradisional, pokok persoalan epistimologis meliputi sumber, asal mula,
dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas dan jangkauan pengetahuan, serta
validitas berbagai klaim terhadap pengetahuan.[4]
Selanjutnya,
pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Sementara itu, Azzumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan
validitas ilmu pengetahuan”[5]
John A. Laska
merumuskan pendidikan sebagai “upaya sengaja yang dilakukan pelajar atau orang
lainnya untuk mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan
mengelola) situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan”.[6]
Pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[7]
Maka
epistemologi pendidikan Islam menekankan pada upaya, cara, atau langkah-langkah
untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan Islam. Jelaslah bahwa aktivitas
berfikir dalam epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan
kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
B.
Pengaruh
Pendidikan Barat Terhadap Pendidikan Islam
Epistemologi Barat mengedepankan rasionalitas ilmiah sebagai satu-satunya metode yang sah
untuk memahami dan mengontrol alam dan menolak semua pertimbangan nilai dalam
pencarian pengetahuan. Epistemologi Barat memperlakukan obyek pencariannya
(baik yang berwujud manusia maupun bukan manusia) sebagai benda semata yang
dapat diperas, dimanipulasi, dibedah dan pada umumnya dihancurkan atas nama
sains.
Kekalahan Islam akibat penghancuran
Hulago Khan terhadap Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258
mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik
ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, pendidikan
Islam tidak lagi mampu menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam
skala internasional yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan.
Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan
teologi yang seringkali dilakukan para ilmuwan yang hidup pada zaman kejayaan
peradaban Islam, hilang sama sekali.[8]
Pengaruh penguasa Dinasti Turki Usmani
pada abad ke-16 dalam bidang pengajaran dan aktifitas-aktifitas ilmiah lainnya
mengarah pada penempatan empat bidang studi kegamaan; Alqur’an, Hadis, Syari’ah
dan Tata Bahasa Arab, menjadi sumber utama proses pendidikan. Ciri utama sistem
pendidikan Islam, adalah menekankan pada ”proses mengingat” sumber-sumber
pemikiran keagamaan. Padahal untuk kepentingan memecahkan atau mencari solusi
atas persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi umat tidak bisa dilalui
dengan ”proses mengingat”, tetapi seharusnya dengan ”proses berfikir”.[9]
Napoleon mendarat di Mesir pada 1798,
datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan
ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Baru pada saat inilah umat Islam dan orang-orang Mesir untuk pertama kalinya
mempunyai kontak langsung dengan peradapan Eropa. Tampaknya kedatangan Napoleon
itu, direspons oleh penguasa Islam melalui perlawanan bersenjata dan oleh
pembaharu Islam dengan pemikiran pembaharunya.[10]
Dalam bidang pendidikan, para pembaharu
Islam tersebut yang memiliki perhatian besar, antara lain adalah Muhammad Ali
Pasha, Sultan Mahmud II, Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan. Mereka
mengikuti pola pendidikan yang dikembangkan di Barat, karena Barat dianggap
berhasil dalam mengembangkan pendidikan. Sedangkan umat Islam kendatipun secara
bertahap, juga mengikuti langkah-langkah para pembaharu itu, sehingga mereka
mencoba meniru gaya pendidikan Barat dalam berbagai dimensinya, termasuk
pemikiran-pemikran yang mendasari keberadaan pendidikan yang biasa disebut
dengan filsafat pendidikan.[11]
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh
pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan
sebuah model untuk memajukan peradapan Islam yang damai, anggun, dan ramah
terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat itu hanya maju secara lahiriyah,
tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran pendidikan tersebut hanya
berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Ukuran-ukuran hasil
pendidikan lebih dilihat dari sudut,
seberapa jauh pengetahuan yang diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan
apakah tumbuh kesadaran diri peserta didik untuk bertindak sesuai dengan
pengetahuan yang dikuasainya.[12]
Hal ini mengingatkan kita pada kasus
pembaharuan Islam di Turki terutama yang dilakukan Mustafa Kemal. Melalui
semangat westernisme, sekulerisme dan nasionaliseme, dia mengadakan perombakan
pendidikan Islam secara mendasar dengan menutup madrasah diganti sekolah yang
khusus membina imam dan khatib, menghapuskan pendidikan agama di
sekolah-sekolah, menghapus bahasa Arab dan Persia dalam kurikulum sekolah, dan
menukar tulisan Arab dengan tulisan Latin.[13] Akan tetapi kenyataanya
hingga sekarang Turki tidak mampu mencapai kemajuan peradapan sebagai yang
dicapai negara-negara Barat. Turki tetap tidak memperoleh apa-apa. Sebaliknya,
Jepang yang sangat kuat berpegang teguh pada tradisi lokal sekalipun dengan
tetap mengikuti perkembangan di Barat ternyata mampu menyaingi kemajuan
negara-negara Barat yang maju.
C.
Sistem
Epistemologi Pendidikan Islam
Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub
sistem atau unsur-unsur pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan
keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta
didik, sarana, alat, pendekatan, dan sebagainya. Keberadan satu unsur
membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu di antara
unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga mengalami
kegagalan.[14]
Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh tertentu, pada saat yang bersamaan
unsur-unsur lainnya menjadi terpengaruh. Kemudian kita bisa membayangkan,
bagaimana mudahnya bagi pendidikan Barat modern mempengaruhi sistem pendidikan
Islam dengan cara mempengaruhi substansi tujuan pendidikan Islam terlebih
dahulu. Berawal dari penggarapan tujuan ini, untuk berikutnya akan lebih mudah
mempengaruhi unsur-unsur lainnya.[15]
Demi kepentingan antisipasi terhadap meluasnya pengaruh
Barat terhadap pendidikan Islam kendatipun terlambat, kita masih perlu meninjau
sistem pendidikan Islam. Tampaknya, sistem pendidikan yang ada sampai saat ini
masih menampakkan berbagai permasalahan berat dan serius yang memerlukan
penanganan dengan segera. Dalam menangani permasalah ini tidak bisa dilakukan
sepotong-potong atau secara parsial, tapi harus dilakukan secara total dan
integratif berdasarkan petunjuk-petunjuk wahyu untuk menjamin arah pemecahan
yang benar.
Pendidikan yang dialami oleh seseorang senantiasa
mempengaruhi cara berfikirnya, cakrawalanya, pandangannya tentang kehidupan,
cara-cara dalam bekerja, maupun tehnik berkarya. Adapun secara kolektif, sistem
pendidikan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara, baik
menyangkut sosial, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain.
Kata Islam yang terangkai dalam sistem pendidikan Islam
tidak untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana
wahyu Allah, baik Al-quran maupun al-sunnah ditempatkan sebagi pemberi petunjuk
ke arah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin
dicapai, bagaimana cara mencapai tujuan itu, orientasi apa yang ingin dituju,
dan lain-lain. Disamping itu, wahyu tersebut dijadikan alat memantau
perkembangan pendidikan Islam apakah telah sesuai dengan petunjuk-petunjuknya
atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam sistem
pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ [16]
الا تركت فيكم امرين لن تضلوا ان تمسكتم
بهما كتاب الله وسنة رسوله - الحد يث
Untuk mendukung renovasi sistem pendidikan Islam
tersebut, sistem pendidikan kita harus mengandung sebuah misi penyampaian
wawasan (vision) Islam. Sebaliknya, ”Kita harus menolak sistem pendidikan yang
didasarkan atas paternalisme dan yang memaksakan perspektif-perspektif yang
asing bagi masyarakat kita”.[17]
Agaknya penting disadari, bahwa kita tidak mampu mengubah sistem pendidikan
secara mendadak tanpa mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat kita. Selama
masyarakat kita masih bercorak paternalistik, rasanya tidak mudah mewujudkan
sistem pendidikan yang benar-benar berkemampuan melahirkan kreatifitas. Pada
masyarakat paternalistik itu, ketergantungan seseorang pada figur-figur tokoh
sangat tinggi. Oleh karena itu,
diperlukan tahapan sosialisasi untuk memperkenalkan sistem pendidikan
yang memperdayakan semua pihak baik pendidik, peserta didik, masyarakat dan
pemerintah.[18]
D.
Pembaharuan
Epistemologi Pendidikan Islam
Sebagai kegiatan yang menekankan pada proses sebenarnya
memberikan sinyal bahwa persoalan-persoalan pendidikan Islam adalah sebagai
persoalan ijtihadiah, yang banyak memberi peran kepada umat Islam untuk
mencermati, mengkritisi, dan mengkontruk formula-formula baru yang makin
sempurna. Kendatipun wahyu telah memberikan petunjuk-petunjuk, tetapi justru
petunjuk-petunjuk itu masih perlu dijabarkan secara detail, sehingga melibatkan
akal untuk melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam.[19]
Masalah pendidikan adalah masalah duniawi, ajaran Islam hanya
memberikan dasar dan garis-garis pokoknya, sedangkan detailnya diserahkan
kepada akal sehat, modus bagaimana yang baik dan yang benar. Berdasarkan
realitas ini, seharusnya pendidikan telah mengalami dinamika yang cepat,
mengingat ada ruang gerak yang longgar untuk mengembangkannya. Logikanya,
semakin longgar wilayah ijtihadnya semakin dapat mempercepat perkembangannya,
jika para pemikir Islam berupaya mengembangkan secara optimal.[20]
Pendidikan ternyata memiliki peranan yang sangat penting,
bahkan paling penting dalam mengembangkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan
umat Islam. Dilihat dari obyek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana
kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam persoalan kemajuan
peradaban dan umat Islam, kemampuan manusia ini harus menjadi perhatian utama,
karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian pendidikan berhubungan
langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini diyakini
lebih mampu mempercepat kemajuan peradaban, daripada sumber daya alam. Ada
banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumber daya manusianya
besar mampu mengalahkan kemajuan negara yang sumber daya alamnya besar tetapi
sumber daya manusianya kecil, seperti Jepang terhadap Indonesia.[21]
Dengan demikian, ke arah masa depan yang lebih baik
adalah pendidikan. Pendidikan merupakan bentuk investasi yang paling baik.
Maka, setiap Muslim mengalokasikan porsi terbesar dari pendapatan nasionalnya
untuk program-program pendidikan. Bila umat Islam bermaksud merebut peranan
sejarahnya kembali dalam percaturan dunia, kerja pertama yang harus
ditandinginya adalah membenahi dunia pendidikan Islam, khususnya perguruan
tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus mampu menciptakan lingkungan akademik
yang kondusif bagi lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik,
dan orisinal, bukan cendekia-cendekia ”konsumen” yang berwawasan sempit,
terbatas dan verbal.[22]
Bentuk pendidikan tradisional yang menghabiskan banyak
energi bukan dalam bidang pemikiran yang kreatif, tetapi dalam hal ”mengingat”
dan ”mengulang” itu tidak dapat menghasilkan gerakan intelektual. Padahal,
semestinya pendidikan yang baik dan strategis tentu mampu menghasilkan
lulusan-lulusan yang berkapasitas intelektual, sebab kaum intelektual adalah
anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide
orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Di tangan
merekalah dapat digantungkan harapan adanya gagasan dan terobosan baru untuk
memecahkan problem-problem yang dihadapi umat.[23]
E.
Upaya
Membangun Epistemologi Pendidikan Islam
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang
berkembang di hampir semua negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga
menembus pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan Islam mengalami banyak
kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar pendidikan
Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus mengadakan
pembaharuan-pembaharuan secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam
ideal yang mencakup berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat
kesadaran bahwa cita-cita mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru bisa
dicapai bila ada upaya membangun epistemologinya.[24]
Epistemologi pendidikan Islam ini, meliputi; pembahasan
yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari
hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam,
metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan
Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam pembahasan ini
epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang
dapat dipakai membangun ilmu pendidikan Islam, daripada komponen-komponen
lainnya, karena komponen metode tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan
pendidikan Islam, baik secara konsepteual maupun aplikatif.
Epistemologi pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara
konseptual untuk menemukan syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan
berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Syarat-syarat itu merupakan kunci dalam
memasuki wilayah pendidikan Islam, tanpa menemukan syarat-syarat itu kita
merasa kesulitan mengungkapkan hakekat pendidikan Islam, mengingat syarat
merupakan tahapan yang harus dipenuhi sebelum berusaha memahami dan mengetahui
pendidikan Islam yang sebenarnya. Setelah ditemukan syarat-syaratnya, langkah
selanjutnya untuk dapat menangkap ”misteri pendidikan Islam” adalah dengan
menyiapkan segala sarana dan potensi yang dimiliki para ilmuan atau pemikir,
dalam kapasitasnya sebagai penggali khazanah dan temuan pendidikan Islam.[25]
Oleh karena itu, epistemologi pendidikan Islam bisa
berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang. Melalui
epistemologi pendidikan Islam ini, seseorang pemikir dapat melakukan : Pertama,
teori-teori atau konsep-konsep pendidikan pada umumnya maupun pendidikan yang
diklaim sebagi Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang
dimilikinya. Kedua, epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan
terhadap problem-problem pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis,
karena teori yang ditawarkan dari epistemologi itu untuk dipraktekkan. Ketiga,
dengan menggunakan epistemologi, para pemikir dan penggali khazanah pendidikan
Islam dapat menemukan teori-teori atau konsep-konsep baru tentang pendidikan
Islam. Selanjutnya, yang keempat, dari hasil temuan-temuan baru itu
kemudian dikembangkan secara optimal.[26]
Mengingat epistemologi memiliki peran, pengaruh dan
fungsi yang begitu besar, dan terlebih lagi sebagai penentu atau penyebab
timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam, maka ada benarnya pendapat yang
mengatakan ”Problem utama pendidikan Islam adalah problem epistemologinya.”[27]
Sekiranya terjadi kelemahan atau kemunduran pendidikan Islam, maka epistemologi
sebagai penyebab paling awal harus dibangun lebih dulu, dan melalui
epistemologi juga, jika kita berkeinginan mengembangkan pendidikan Islam.
Kekokohan bangunan epistemologi melahirkan ketahanan pendidikan Islam
menghadapi pengaruh apapun, termasuk arus budaya Barat, dan mampu memberi jaminan terhadap kemajuan pendidikan
Islam serta bersaing dengan pendidikan-pendidikan lainnya.[28]
F.
Formulasi Epistemologi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
bersumber dari al Quran dan Hadits, secara otomatis epistemologi yang dipakai
adalah epistemologi Islam (bersumber dari al Quran dan Hadits). Sehingga,
pendidikan Islam dalam prakteknya dilihat dari kerangka epistemologis bukan
menggunakan pendekatan naturalistik-positivistik,
yaitu jenis pendekatan keilmuan yang lebih menitikberatkan pada aspek koherensi
(dari indikator, dapat terjawabnya berbagai pertanyaan pengetahuan agama) tanpa
banyak menyentuh wilayah moralitas praktis. Atau menitikberatkan pada aspek
korespondensi-tekstual yang lebih menekankan pada kemampuan untuk menghafal
teks-teks keagamaan, yang menurut istilah Fazlur Rahman adalah memory-work dengan learning by note.
Dengan landasan
epistemologi yang dibangun oleh para ilmuan-ilmuan muslim klasik, yang
mendasarkan pengetahuannya melalui indera, akal dan intuisijuga mengakui
kebenaran wahyu, itulah yang menjadi pondasi epistemologi pendidikan Islam.
Sehingga, hasil yang akan dicapai adalah menjadikan anak didik sebagai manusia
yang utuh dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis. Hal ini, sesuai
dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu suatu proses dengan “memanusiakan
manusia”.
Dengan demikian
epistemologi pendidikan Islam bukanlah bercorak naturalistic-positivistik, akan tetapi mempunyai corak rasionalistik-empiristik-sufistik,
yang berarti bahwa pengakuan terhadap suatu ralitas kebenaran didasarkan pada
indera, akal, intuisi dan wahyu. Dalam pendidikan Islam, terutama dalam konteks
pendekatan konseptual metodologis, maka pendidikan Islam memerlukan sebuah
paradigma yang mengedepankan keempat hal tersebut.
Pertama, fungsionalisasi inderawi, yaitu bagaimana dalam pendidikan Islam terdapat dorongan
terhadap anak didik untuk senantiasa memfungsikan secara maksimal organ tubuh
pemberian Tuhan, utamanya adanya panca indera tersebut dengan melakukan
observasi dalam mencari kebenaran dalam proses pendidikan.
Tidak hanya dalam
konteks transfer of knowledge saja,
yang menekankan pada kemampuan untuk menghafal teks-teks keagamaan yang menurut
Fazlur Rahman disebut sebagai memory-work
dan learning bu note. Akan tetapi
bagaimana mendidik anak menjadi manusia yang trampil dan kreatif serta
profesional.
Kedua,
fungsionalisasi akal, yaitu manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan
dengan bentuk rupa yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya, kemudian
dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti indera dan
hati, dan kemampuan berpikir untuk memahami alam semesta dan diri sendiri yang
disebut akal.
Akal, sebagai
salah satu potensi yang penting dalam diri manusia mempunyai kedudukan dan
peran yang sangat tinggi. Hal ini bukan hanya teori, tapi fungsi akal telah
dibuktikan dalam sejarah pemikiran cendekiawan muslim zaman klasik.
Ron Landau
mengatakan : “Dari orang Arablah Eropa belajar berpikir secara obyektif dan
lurus, belajar berdada lapang dan berpandangan luas. Inilah dasar-dasar menjadi
pembimbing bagi renaissance yang
menimbulkan kemajuan peradaban Barat”.
Dalam proses
pendidikan di lapangan, fungsionalisasi akal dengan mengajak anak didik selalu
berpikir secara maksimal dalam memahami obyek, baik yang nampak maupun yang
tidak nampak, maka tujuan pendidikan Islam akan lebih mudah tercapai.
Ketiga,
wahyu dan intuisi, fungsionalisasi akal dan pengalaman inderawi dalam
mencapai tujuan pendidikan Islam, pada satu sisi memang akan menciptakan
peradaban yang lebih maju, yang di dalamnya terdapat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta penerapannya. Namun, pada sisi lain, memerlukan
kontrol pula. Sebab dalam kenyataannya sains modern bisa juga mendatangkan
mendatangkan berbagai persoalan.
Diantara dampak
sains modern, khususnya dalam perspektif epistemologi yang muncul dari pola
pikir manusia yang tercermin dalam perilakunya adalah adanya dominasi berpikir
rasional dan empiris, yang merupakan pilar metode keilmuan (scientific method).
Hal ini berarti
adanya pemisahan antara kebenaran rasio dan pengalaman inderawi tersebut dengan
nilai-nilai yang bersumber dari intuisi, yang akhirnya terjadi proses
sekularisasi yang menghancurkan keaungan dan kemuliaan manusia.
Paradigma
pendidikan Islam seharusnya menempatkan nilai-nilai yang bersumber dari
pengalaman spiritual tersebut, yang menghasilkan nilai-nilai moral-religius
sebagai landasan dalam pendidikan Islam.
Sehingga tujuan
pendidikan Islam yang meliputi ta’lim,
tarbiyah dan ta’dib diharapkan
dapat tercapai, yaitu terbentuknya pribadi yang utuh dan mendukung pelaksanaan
fungsinya sebagai khalifah fi al ard,
dengan tidak melaksanakan praktik pendidikan Islam yang bebas nilai.
Berangkat dari
epistemologi tersebut, maka paradigma pengembangan pendidikan Islam yang
relevan dan perlu untuk mencermati adalah pertama,
mengintegrasikan antara ilmu-ilmu yang dianggap sebagian orang adalah sekuler
dan ilmu-ilmu agama dengan prinsip bahwa proses perolehan pengetahuan
hakekatnya adalah untuk kebahagiaan dunia akherat. Bukan berorientasi kepada
satu sisi saja yang mendatangkan kesesatan dan kesengsaraan. Dalam hal ini, ada
keseimbangan antara ilmu naqli dan aqli (filsafat).
Kedua,
mengusahakan untu kmeningkatkan kemampuan, dorongan dan kesempatan
seluas-luasnya dalam rangka mendapatkan pendidikan. Sebab manusia diberi
kemampuan oleh Allah berupa akal dan hati untuk membedakan dengan makhluk lain.
Oleh karena itu, harus berusaha memperoleh kebenaran pengetahuan yang akan
menjadikan dirinya benar-benar sebagai manusia. Ketiga, menerapkan nilai-nilaispiritual yang seimbang kepada anak
dalam rangka balance terhadap seluruh
potensi yang dimilikinya. Keempat,
mendasarkan proses pendidikan kepada al Quran dan Hadits sebagai pedoman dan
pijakan dalam pengembangan ilmu.
Kelima,
mengusahakan peran pendidikan Islam ygmengembangkan moral atau akhlak peserta
didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah laku dalam menghadapi
norma sekuler. Keenam, mengusahakan
sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan ygdikotomis,
yakni pandangan yang memisahkan secara tajam antara tujuan ilmu dan agama,
sementara ilmu meurpakan alat utama dalam menjangkau kebenaran yang menjadi
tujuan agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epistemologi
Pendidikan Islam adalah upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Pengaruh pendidikan Barat terhadap
pendidikan Islam yaitu hanya maju secara lahiriyah, tapi kering secara
rohaniyah. Ukuran hasil pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak
pengetahuan yang diserap peserta didik, tetapi tidak pada kesadaran diri peserta
didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Sistem
pendidikan Islam harus menempatkan Al-Qur’an maupun As-Sunah sebagi pemberi
petunjuk ke arah mana proses pendidikan digerakkan.
Pembaharuan
epistemologi pendidikan Islam seharusnya dikembangkan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Pendidikan Islam harus mampu melahirkan ilmuwan
yang berfikir kreatif, otentik dan orisinal, tidak dengan cara mengingat atau
mengulang tetapi dengan cara berfikir.
Dalam
upaya membangun epistemologi pendidikan Islam seharusnya para pakar dan
pemegang kebijakan dalam pendidikan Islam mengadakan pembaharuan secara
komprehensif terhadap metode atau pendekatan yang dipakai membangun pendidikan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga :
2005)
George R. Knight, Filsafat
Pendidikan, (Yogyakarta, Gama Media : 2007)
Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
Ziaudin Sardar,
Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj, Rahmani Astuti,
(Bandung :Mizan,
1992)
[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta,
Penerbit Erlangga : 2005), 207
[2] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta,
Gama Media : 2007), 17
[3] Brauner and Burns, Problems ..., hlm. 49.
[4] Rapper, Pengantar…,
hlm. 37.
[6] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta,
Gama Media : 2007), 15
[7]Akhyak, Materi Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
[8] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam,
(Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 208
[9] Ibid, 208
[11] Ibid, 209
[12] Ibid, 210
[13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 149-152
[14] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam,
(Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 218
[15] Ibid, 219
[17] Ziaudin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim,
terj, Rahmani Astuti, (Bandung :Mizan, 1992), 12
[18] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam,
(Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 224
[19] Ibid, 225
[22] Ahmad Syafi’i Ma;arif, Pendidikan …., 25
[23] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam,
(Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 229
[24] Ibid, 249
[26] Ibid, 250-251
[27] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma, 28-29
[28] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam,
(Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar