Minggu, 01 Februari 2015

formulasi epistemologi pendidikan islam (Filsafat Pendidikan Islam)



Makalah Individu

FORMULASI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Oleh :
Irvan Khoiri, S.Pd.I
1422010030

Program Studi               : Ilmu Tarbiyah
Konsentrasi                   : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah                   : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu          : Dr. H. Achmad Asrori, MA
         Dr. H. Jamal Fakhri. M.Ag


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
2015 M/ 1436 H



KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad saw yang kita harapkan syafaatnya nanti di hari akhir.
Makalah ini berjudul “Formulasi Epistemologi Pendidikan Islam”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam dengan dosen Pengampu Dr. H.Achmad Asrori, M.A dan Dr. H. Jamal Fakhri, M.Ag.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, hal tersebut semata-mata kerena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang  penulis miliki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pembaca.
Akhirnya penulis memohon taufik dan hidayah-Nya kepada Allah Rabb seluruh alam. Dan semoga makalah ini bermanfaat pribadi penulis dan bagi kita semua. Amiin....

                                                            Bandar Lampung,   November 2014
Penulis,



Irvan Khoiri, S.Pd.I
1422010030               



 


DAFTAR ISI

                                                                                                                         
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ......... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... ......... iii

BAB   I      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ......................................................... ......... 1

BAB  II     PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam............................. ......... 2
B.     Pengaruh Pendidikan Barat terhadap Pendidikan Islam.................. 3
C.     Sistem Epistemologi Pendidikan Islam............................................. 5
D.    Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam........................ ......... 7
E.     Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam.............. ......... 8
F.      Formulasi Epistemologi Pendidikan Islam.............................. ......... 10

BAB  III    PENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................. ......... 14
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Setiap ilmu pengetahuan seharusnya diinspirasi dari hasil kerja epistemologinya. Pendidikan Islam harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan epistemologi untuk menciptakan pendidikan Islam yang bermutu dan berdaya saing tinggi untuk bisa bertahan dan memimpin.
Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efisien, bila didasarkan epistemologi pendidikan Islam.[1] Sehingga pengembangan pendidikan Islam secara konseptual maupun secara aplikatif harus dibangun dari epistemologi pendidikan Islam secara menyeluruh.
Pertanyaan yang dikemukakan dalam epistimologi adalah menyangkut apa yang dimaksud pengetahuan yang benar, apa sumber dan dasarnya, bagaimana cara mengetahui dan sebagainya. Disebabkan kenyataan bahwa studi epistimologis berkaitan dengan pertanyaan mengenai dasar pencapaian pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta ketepatan berbagai metode mencapai kebenaran yang dapat dipercaya, maka epistimologi dan metafisika menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan.[2] Hal ini dikarenakan dunia pendidikan merupakan wahana berlangsungnya proses pewarisan kebudayaan, utamanya berupa ilmu pengetahuan. Kedudukan epistimologi menjadi penting artinya mengingat di dalamnya dikaji hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dikemukakan bagaimana pengertian epistemologi pendidikan Islam, sistem epistemologi pendidikan Islam, pembaharuan epistemologi pendidikan Islam, upaya membangun epistemologi pendidikan Islam, dan formulasi epistemologi pendidikan Islam. Hal-hal itulah yang dibahas untuk dijadikan sebagai pertimbangan seberapa jauh epistemologi pendidikan Islam dapat dinyatakan sebagai kebutuhan yang sangat penting dan mendesak.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Epistemologi Pendidikan Islam
Kata epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti kata, pikiran, percakapan atau ilmu. Dalam bahasa Brauner dan Burns, episemologis diungkapkan dengan …the branc of philosophy which investigated the origin, structure, methodes and validity of knowledge.[3] Secara tradisional, pokok persoalan epistimologis meliputi sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas dan jangkauan pengetahuan, serta validitas berbagai klaim terhadap pengetahuan.[4]
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azzumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”[5]
John A. Laska merumuskan pendidikan sebagai “upaya sengaja yang dilakukan pelajar atau orang lainnya untuk mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola) situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan”.[6]
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[7]
Maka epistemologi pendidikan Islam menekankan pada upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan Islam. Jelaslah bahwa aktivitas berfikir dalam epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
B.     Pengaruh Pendidikan Barat Terhadap Pendidikan Islam
Epistemologi Barat mengedepankan rasionalitas  ilmiah sebagai satu-satunya metode yang sah untuk memahami dan mengontrol alam dan menolak semua pertimbangan nilai dalam pencarian pengetahuan. Epistemologi Barat memperlakukan obyek pencariannya (baik yang berwujud manusia maupun bukan manusia) sebagai benda semata yang dapat diperas, dimanipulasi, dibedah dan pada umumnya dihancurkan atas nama sains.
Kekalahan Islam akibat penghancuran Hulago Khan terhadap Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para ilmuwan yang hidup pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang sama sekali.[8]
Pengaruh penguasa Dinasti Turki Usmani pada abad ke-16 dalam bidang pengajaran dan aktifitas-aktifitas ilmiah lainnya mengarah pada penempatan empat bidang studi kegamaan; Alqur’an, Hadis, Syari’ah dan Tata Bahasa Arab, menjadi sumber utama proses pendidikan. Ciri utama sistem pendidikan Islam, adalah menekankan pada ”proses mengingat” sumber-sumber pemikiran keagamaan. Padahal untuk kepentingan memecahkan atau mencari solusi atas persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi umat tidak bisa dilalui dengan ”proses mengingat”, tetapi seharusnya dengan ”proses berfikir”.[9]
Napoleon mendarat di Mesir pada 1798, datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Baru pada saat inilah umat Islam dan orang-orang Mesir untuk pertama kalinya mempunyai kontak langsung dengan peradapan Eropa. Tampaknya kedatangan Napoleon itu, direspons oleh penguasa Islam melalui perlawanan bersenjata dan oleh pembaharu Islam dengan pemikiran pembaharunya.[10]
Dalam bidang pendidikan, para pembaharu Islam tersebut yang memiliki perhatian besar, antara lain adalah Muhammad Ali Pasha, Sultan Mahmud II, Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan. Mereka mengikuti pola pendidikan yang dikembangkan di Barat, karena Barat dianggap berhasil dalam mengembangkan pendidikan. Sedangkan umat Islam kendatipun secara bertahap, juga mengikuti langkah-langkah para pembaharu itu, sehingga mereka mencoba meniru gaya pendidikan Barat dalam berbagai dimensinya, termasuk pemikiran-pemikran yang mendasari keberadaan pendidikan yang biasa disebut dengan filsafat pendidikan.[11]
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebuah model untuk memajukan peradapan Islam yang damai, anggun, dan ramah terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat itu hanya maju secara lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran pendidikan tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Ukuran-ukuran hasil pendidikan  lebih dilihat dari sudut, seberapa jauh pengetahuan yang diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan apakah tumbuh kesadaran diri peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya.[12]
Hal ini mengingatkan kita pada kasus pembaharuan Islam di Turki terutama yang dilakukan Mustafa Kemal. Melalui semangat westernisme, sekulerisme dan nasionaliseme, dia mengadakan perombakan pendidikan Islam secara mendasar dengan menutup madrasah diganti sekolah yang khusus membina imam dan khatib, menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah, menghapus bahasa Arab dan Persia dalam kurikulum sekolah, dan menukar tulisan Arab dengan tulisan Latin.[13] Akan tetapi kenyataanya hingga sekarang Turki tidak mampu mencapai kemajuan peradapan sebagai yang dicapai negara-negara Barat. Turki tetap tidak memperoleh apa-apa. Sebaliknya, Jepang yang sangat kuat berpegang teguh pada tradisi lokal sekalipun dengan tetap mengikuti perkembangan di Barat ternyata mampu menyaingi kemajuan negara-negara Barat yang maju.
C.    Sistem Epistemologi Pendidikan Islam
Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub sistem atau unsur-unsur pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta didik, sarana, alat, pendekatan, dan sebagainya. Keberadan satu unsur membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu di antara unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga mengalami kegagalan.[14] Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur lainnya menjadi terpengaruh. Kemudian kita bisa membayangkan, bagaimana mudahnya bagi pendidikan Barat modern mempengaruhi sistem pendidikan Islam dengan cara mempengaruhi substansi tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu. Berawal dari penggarapan tujuan ini, untuk berikutnya akan lebih mudah mempengaruhi unsur-unsur lainnya.[15]
Demi kepentingan antisipasi terhadap meluasnya pengaruh Barat terhadap pendidikan Islam kendatipun terlambat, kita masih perlu meninjau sistem pendidikan Islam. Tampaknya, sistem pendidikan yang ada sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan berat dan serius yang memerlukan penanganan dengan segera. Dalam menangani permasalah ini tidak bisa dilakukan sepotong-potong atau secara parsial, tapi harus dilakukan secara total dan integratif berdasarkan petunjuk-petunjuk wahyu untuk menjamin arah pemecahan yang benar.
Pendidikan yang dialami oleh seseorang senantiasa mempengaruhi cara berfikirnya, cakrawalanya, pandangannya tentang kehidupan, cara-cara dalam bekerja, maupun tehnik berkarya. Adapun secara kolektif, sistem pendidikan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara, baik menyangkut sosial, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain.
Kata Islam yang terangkai dalam sistem pendidikan Islam tidak untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana wahyu Allah, baik Al-quran maupun al-sunnah ditempatkan sebagi pemberi petunjuk ke arah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapai tujuan itu, orientasi apa yang ingin dituju, dan lain-lain. Disamping itu, wahyu tersebut dijadikan alat memantau perkembangan pendidikan Islam apakah telah sesuai dengan petunjuk-petunjuknya atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam sistem pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ [16]

الا تركت فيكم امرين لن تضلوا ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله  - الحد يث
Untuk mendukung renovasi sistem pendidikan Islam tersebut, sistem pendidikan kita harus mengandung sebuah misi penyampaian wawasan (vision) Islam. Sebaliknya, ”Kita harus menolak sistem pendidikan yang didasarkan atas paternalisme dan yang memaksakan perspektif-perspektif yang asing bagi masyarakat kita”.[17] Agaknya penting disadari, bahwa kita tidak mampu mengubah sistem pendidikan secara mendadak tanpa mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat kita. Selama masyarakat kita masih bercorak paternalistik, rasanya tidak mudah mewujudkan sistem pendidikan yang benar-benar berkemampuan melahirkan kreatifitas. Pada masyarakat paternalistik itu, ketergantungan seseorang pada figur-figur tokoh sangat tinggi. Oleh karena itu,  diperlukan tahapan sosialisasi untuk memperkenalkan sistem pendidikan yang memperdayakan semua pihak baik pendidik, peserta didik, masyarakat dan pemerintah.[18]
D.    Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam
Sebagai kegiatan yang menekankan pada proses sebenarnya memberikan sinyal bahwa persoalan-persoalan pendidikan Islam adalah sebagai persoalan ijtihadiah, yang banyak memberi peran kepada umat Islam untuk mencermati, mengkritisi, dan mengkontruk formula-formula baru yang makin sempurna. Kendatipun wahyu telah memberikan petunjuk-petunjuk, tetapi justru petunjuk-petunjuk itu masih perlu dijabarkan secara detail, sehingga melibatkan akal untuk melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam.[19]
Masalah pendidikan adalah masalah duniawi, ajaran Islam hanya memberikan dasar dan garis-garis pokoknya, sedangkan detailnya diserahkan kepada akal sehat, modus bagaimana yang baik dan yang benar. Berdasarkan realitas ini, seharusnya pendidikan telah mengalami dinamika yang cepat, mengingat ada ruang gerak yang longgar untuk mengembangkannya. Logikanya, semakin longgar wilayah ijtihadnya semakin dapat mempercepat perkembangannya, jika para pemikir Islam berupaya mengembangkan secara optimal.[20]
Pendidikan ternyata memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Dilihat dari obyek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam persoalan kemajuan peradaban dan umat Islam, kemampuan manusia ini harus menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini diyakini lebih mampu mempercepat kemajuan peradaban, daripada sumber daya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumber daya manusianya besar mampu mengalahkan kemajuan negara yang sumber daya alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil, seperti Jepang terhadap Indonesia.[21]
Dengan demikian, ke arah masa depan yang lebih baik adalah pendidikan. Pendidikan merupakan bentuk investasi yang paling baik. Maka, setiap Muslim mengalokasikan porsi terbesar dari pendapatan nasionalnya untuk program-program pendidikan. Bila umat Islam bermaksud merebut peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia, kerja pertama yang harus ditandinginya adalah membenahi dunia pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus mampu menciptakan lingkungan akademik yang kondusif bagi lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik, dan orisinal, bukan cendekia-cendekia ”konsumen” yang berwawasan sempit, terbatas dan verbal.[22]
Bentuk pendidikan tradisional yang menghabiskan banyak energi bukan dalam bidang pemikiran yang kreatif, tetapi dalam hal ”mengingat” dan ”mengulang” itu tidak dapat menghasilkan gerakan intelektual. Padahal, semestinya pendidikan yang baik dan strategis tentu mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang berkapasitas intelektual, sebab kaum intelektual adalah anggota-anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Di tangan merekalah dapat digantungkan harapan adanya gagasan dan terobosan baru untuk memecahkan problem-problem yang dihadapi umat.[23]
E.     Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam
Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus mengadakan pembaharuan-pembaharuan secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencakup berbagai dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa cita-cita mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru bisa dicapai bila ada upaya membangun epistemologinya.[24]
Epistemologi pendidikan Islam ini, meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya. Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai membangun ilmu pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena komponen metode tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konsepteual maupun aplikatif.
Epistemologi pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara konseptual untuk menemukan syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Syarat-syarat itu merupakan kunci dalam memasuki wilayah pendidikan Islam, tanpa menemukan syarat-syarat itu kita merasa kesulitan mengungkapkan hakekat pendidikan Islam, mengingat syarat merupakan tahapan yang harus dipenuhi sebelum berusaha memahami dan mengetahui pendidikan Islam yang sebenarnya. Setelah ditemukan syarat-syaratnya, langkah selanjutnya untuk dapat menangkap ”misteri pendidikan Islam” adalah dengan menyiapkan segala sarana dan potensi yang dimiliki para ilmuan atau pemikir, dalam kapasitasnya sebagai penggali khazanah dan temuan pendidikan Islam.[25]
Oleh karena itu, epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang. Melalui epistemologi pendidikan Islam ini, seseorang pemikir dapat melakukan : Pertama, teori-teori atau konsep-konsep pendidikan pada umumnya maupun pendidikan yang diklaim sebagi Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang dimilikinya. Kedua, epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan terhadap problem-problem pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis, karena teori yang ditawarkan dari epistemologi itu untuk dipraktekkan. Ketiga, dengan menggunakan epistemologi, para pemikir dan penggali khazanah pendidikan Islam dapat menemukan teori-teori atau konsep-konsep baru tentang pendidikan Islam. Selanjutnya, yang keempat, dari hasil temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan secara optimal.[26]
Mengingat epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, dan terlebih lagi sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam, maka ada benarnya pendapat yang mengatakan ”Problem utama pendidikan Islam adalah problem epistemologinya.”[27] Sekiranya terjadi kelemahan atau kemunduran pendidikan Islam, maka epistemologi sebagai penyebab paling awal harus dibangun lebih dulu, dan melalui epistemologi juga, jika kita berkeinginan mengembangkan pendidikan Islam. Kekokohan bangunan epistemologi melahirkan ketahanan pendidikan Islam menghadapi pengaruh apapun, termasuk arus budaya Barat, dan mampu  memberi jaminan terhadap kemajuan pendidikan Islam serta bersaing dengan pendidikan-pendidikan lainnya.[28]
F.     Formulasi Epistemologi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bersumber dari al Quran dan Hadits, secara otomatis epistemologi yang dipakai adalah epistemologi Islam (bersumber dari al Quran dan Hadits). Sehingga, pendidikan Islam dalam prakteknya dilihat dari kerangka epistemologis bukan menggunakan pendekatan naturalistik-positivistik, yaitu jenis pendekatan keilmuan yang lebih menitikberatkan pada aspek koherensi (dari indikator, dapat terjawabnya berbagai pertanyaan pengetahuan agama) tanpa banyak menyentuh wilayah moralitas praktis. Atau menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual yang lebih menekankan pada kemampuan untuk menghafal teks-teks keagamaan, yang menurut istilah Fazlur Rahman adalah memory-work dengan learning by note.
Dengan landasan epistemologi yang dibangun oleh para ilmuan-ilmuan muslim klasik, yang mendasarkan pengetahuannya melalui indera, akal dan intuisijuga mengakui kebenaran wahyu, itulah yang menjadi pondasi epistemologi pendidikan Islam. Sehingga, hasil yang akan dicapai adalah menjadikan anak didik sebagai manusia yang utuh dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis. Hal ini, sesuai dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu suatu proses dengan “memanusiakan manusia”.
Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam bukanlah bercorak naturalistic-positivistik, akan tetapi mempunyai corak rasionalistik-empiristik-sufistik, yang berarti bahwa pengakuan terhadap suatu ralitas kebenaran didasarkan pada indera, akal, intuisi dan wahyu. Dalam pendidikan Islam, terutama dalam konteks pendekatan konseptual metodologis, maka pendidikan Islam memerlukan sebuah paradigma yang mengedepankan keempat hal tersebut.
Pertama, fungsionalisasi inderawi, yaitu bagaimana dalam pendidikan Islam terdapat dorongan terhadap anak didik untuk senantiasa memfungsikan secara maksimal organ tubuh pemberian Tuhan, utamanya adanya panca indera tersebut dengan melakukan observasi dalam mencari kebenaran dalam proses pendidikan.
Tidak hanya dalam konteks transfer of knowledge saja, yang menekankan pada kemampuan untuk menghafal teks-teks keagamaan yang menurut Fazlur Rahman disebut sebagai memory-work dan learning bu note. Akan tetapi bagaimana mendidik anak menjadi manusia yang trampil dan kreatif serta profesional.
Kedua, fungsionalisasi akal, yaitu manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan dengan bentuk rupa yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya, kemudian dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti indera dan hati, dan kemampuan berpikir untuk memahami alam semesta dan diri sendiri yang disebut akal.
Akal, sebagai salah satu potensi yang penting dalam diri manusia mempunyai kedudukan dan peran yang sangat tinggi. Hal ini bukan hanya teori, tapi fungsi akal telah dibuktikan dalam sejarah pemikiran cendekiawan muslim zaman klasik.
Ron Landau mengatakan : “Dari orang Arablah Eropa belajar berpikir secara obyektif dan lurus, belajar berdada lapang dan berpandangan luas. Inilah dasar-dasar menjadi pembimbing bagi renaissance yang menimbulkan kemajuan peradaban Barat”.
Dalam proses pendidikan di lapangan, fungsionalisasi akal dengan mengajak anak didik selalu berpikir secara maksimal dalam memahami obyek, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, maka tujuan pendidikan Islam akan lebih mudah tercapai.
Ketiga, wahyu dan intuisi, fungsionalisasi akal dan pengalaman inderawi dalam mencapai tujuan pendidikan Islam, pada satu sisi memang akan menciptakan peradaban yang lebih maju, yang di dalamnya terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya. Namun, pada sisi lain, memerlukan kontrol pula. Sebab dalam kenyataannya sains modern bisa juga mendatangkan mendatangkan berbagai persoalan.
Diantara dampak sains modern, khususnya dalam perspektif epistemologi yang muncul dari pola pikir manusia yang tercermin dalam perilakunya adalah adanya dominasi berpikir rasional dan empiris, yang merupakan pilar metode keilmuan (scientific method).
Hal ini berarti adanya pemisahan antara kebenaran rasio dan pengalaman inderawi tersebut dengan nilai-nilai yang bersumber dari intuisi, yang akhirnya terjadi proses sekularisasi yang menghancurkan keaungan dan kemuliaan manusia.
Paradigma pendidikan Islam seharusnya menempatkan nilai-nilai yang bersumber dari pengalaman spiritual tersebut, yang menghasilkan nilai-nilai moral-religius sebagai landasan dalam pendidikan Islam.
Sehingga tujuan pendidikan Islam yang meliputi ta’lim, tarbiyah dan ta’dib diharapkan dapat tercapai, yaitu terbentuknya pribadi yang utuh dan mendukung pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al ard, dengan tidak melaksanakan praktik pendidikan Islam yang bebas nilai.
Berangkat dari epistemologi tersebut, maka paradigma pengembangan pendidikan Islam yang relevan dan perlu untuk mencermati adalah pertama, mengintegrasikan antara ilmu-ilmu yang dianggap sebagian orang adalah sekuler dan ilmu-ilmu agama dengan prinsip bahwa proses perolehan pengetahuan hakekatnya adalah untuk kebahagiaan dunia akherat. Bukan berorientasi kepada satu sisi saja yang mendatangkan kesesatan dan kesengsaraan. Dalam hal ini, ada keseimbangan antara ilmu naqli dan aqli (filsafat).
Kedua, mengusahakan untu kmeningkatkan kemampuan, dorongan dan kesempatan seluas-luasnya dalam rangka mendapatkan pendidikan. Sebab manusia diberi kemampuan oleh Allah berupa akal dan hati untuk membedakan dengan makhluk lain. Oleh karena itu, harus berusaha memperoleh kebenaran pengetahuan yang akan menjadikan dirinya benar-benar sebagai manusia. Ketiga, menerapkan nilai-nilaispiritual yang seimbang kepada anak dalam rangka balance terhadap seluruh potensi yang dimilikinya. Keempat, mendasarkan proses pendidikan kepada al Quran dan Hadits sebagai pedoman dan pijakan dalam pengembangan ilmu.
Kelima, mengusahakan peran pendidikan Islam ygmengembangkan moral atau akhlak peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah laku dalam menghadapi norma sekuler. Keenam, mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan ygdikotomis, yakni pandangan yang memisahkan secara tajam antara tujuan ilmu dan agama, sementara ilmu meurpakan alat utama dalam menjangkau kebenaran yang menjadi tujuan agama.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Epistemologi Pendidikan Islam adalah upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah.
             Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam yaitu hanya maju secara lahiriyah, tapi kering secara rohaniyah. Ukuran hasil pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak pengetahuan yang diserap peserta didik, tetapi tidak pada kesadaran diri peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
            Sistem pendidikan Islam harus menempatkan Al-Qur’an maupun As-Sunah sebagi pemberi petunjuk ke arah mana proses pendidikan digerakkan.
            Pembaharuan epistemologi pendidikan Islam seharusnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan Islam harus mampu melahirkan ilmuwan yang berfikir kreatif, otentik dan orisinal, tidak dengan cara mengingat atau mengulang tetapi dengan cara berfikir.
            Dalam upaya membangun epistemologi pendidikan Islam seharusnya para pakar dan pemegang kebijakan dalam pendidikan Islam mengadakan pembaharuan secara komprehensif terhadap metode atau pendekatan yang dipakai membangun pendidikan Islam.










DAFTAR PUSTAKA

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga :
2005)
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, Gama Media : 2007)
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Ziaudin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj, Rahmani Astuti,
(Bandung :Mizan, 1992)



[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 207
[2] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, Gama Media : 2007), 17
[3] Brauner and Burns, Problems ..., hlm. 49.
[4] Rapper, Pengantar…, hlm. 37.
[5] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 4
[6] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, Gama Media : 2007), 15
[7]Akhyak, Materi Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
[8] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 208
[9] Ibid, 208
[10] Ibid, 209
[11] Ibid, 209
[12] Ibid, 210
[13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 149-152
[14] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 218
[15] Ibid, 219
[16] QS an-Nisa’ ayat 59
[17] Ziaudin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj, Rahmani Astuti, (Bandung :Mizan, 1992), 12
[18] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 224
[19] Ibid, 225
[20] Ibid, 225-226
[21] Ibid, 226
[22] Ahmad Syafi’i Ma;arif, Pendidikan …., 25
[23] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 229
[24] Ibid, 249
[25] Ibid, 229
[26] Ibid, 250-251
[27] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma, 28-29
[28] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta, Penerbit Erlangga : 2005), 251



Tidak ada komentar:

Posting Komentar