AL-QASAM
FIL QUR’AN
(Rahasia
Sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an)
Disusun
Oleh :
Irvan Khoiri
1422010030
Program Studi : Ilmu Tarbiyah
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu : Dr. H. Arpandi, Lc. MA
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN
INTAN LAMPUNG
2014
M/ 1436 H
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kumpulan dari firman-firman
Allah yang berperan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil, penjelas
bagi segala sesuatu, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa
al-Qur’an mempunyai cakupan yang sangat luas, baik dalam kehidupan dunia maupun
dalam kehidupan akhirat.
Berbagai macam masalah yang dibicarakan Al-Qur’an,
di antaranya adalah tentang sumpah (qasam) Allah Swt. Seseorang boleh saja
merasa heran, mengapa Allah banyak bersumpah dalam Al-Qur’an, baik bersumpah
dengan diri-Nya sendiri ataupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Keheranan tersebut
muncul karena mereka tidak mempelajari idiom Al-Qur’an. Oleh karena itu,
pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah: Apakah yang dimaksud dengan sumpah
Allah dan apa unsur-unsur yang membentuknya? Ayat-ayat mana yang termasuk
sumpah Allah dan kenapa Allah bersumpah?Tentang apa Allah bersumpah?, dan lain
sebagainya.[1]
Dalam mencari bentuk-bentuk kata yang berarti
sumpah, berpedoman pada al-Qur’an dan terjemahnya. Sebagai pegangan awal, kata
yang berkaitan dengan Uqsimu ditemukan 24 kali, halaf 12 kali, yamin 24 kali. Perlu
diperhatikan juga sumpah yang berasal dari huruf. Menurut Ibnu Khalawaih huruf
sumpah ada empat macam, yaitu: waw, ba’, ta, dan hamzah. Tetapi yang
ditemukan dalam al-Qur’an kata yang berarti sumpah hanya tiga huruf yang
pertama, karena huruf hamzah diterjemahkan dengan “apakah” sebagai huruf
istifham. Secara umum sumpah yang dimaksud dapat berupa sumpah Allah, manusia,
dan setan, yang kesemuanya terdapat dalam al-Qur’an.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aqsamul Qur’an
Secara
etimologi aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam. Kata qasam
memiliki makna yang sama dengan dua kata lain yaitu: halaf dan yamin
yang berarti sumpah. Sumpah dinamakan juga dengan yamin karena kebiasaan
orang Arab ketika bersumpah saling memegang tangan kanannya masing-masing.[3]
Sedangkan
secara terminologi aqsamul Qur’an adalah ilmu yang membicarakan tentang
sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Qur’an. Kemudian yang dimaksud
sumpah sendiri adalah sesuatu yang digunakan untuk menguatkan pembicaraan.
Menurut al-Jurjani seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution sumpah
adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan salah satu dari dua berita
dengan menyebutkan nama Allah atau sifatnya.[4]
Lain halnya dengan Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, menurut mereka sumpah
adalah salah satu alat taukid yang cukup efektif didalam kelaziman
perhubungan atau komunikasi.[5]
Jika demikian,
maka yang dimaksud dengan aqsamul Qur’an adalah salah satu dari
ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah,
dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain
pengertian diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an
menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan dengan menyebut nama
Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an,
ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama,
dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa atau yamana.
Contoh
penggunaan kedua kata tadi antara lain sebagai berikut:
tPöqt ãNåkçZyèö7t ª!$# $YèÏHsd tbqàÿÎ=ósusù ¼çms9 $yJx. tbqàÿÎ=øts ö/ä3s9 (
tbqç7|¡øtsur öNåk¨Xr& 4n?tã >äóÓx« 4
Iwr& öNåk¨XÎ) ãNèd tbqç/É»s3ø9$# ÇÊÑÈ
Artinya:
“(Ingatlah)
hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah) lalu mereka bersumpah kepada-Nya
(bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan
mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Mujadilah:18)
¼çm¯RÎ)ur ÒO|¡s)s9 öq©9 tbqßJn=÷ès? íOÏàtã ÇÐÏÈ
Artinya:
“Sesungguhnya
sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui”.(Al-Waqi’ah: 76)
B.
Huruf-huruf Qasam
Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam ada tiga.
1.
huruf wawu, seperti dalam firman Allah SWT:
Éb>uuqsù Ïä!$uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ¼çm¯RÎ) A,yss9 @÷WÏiB !$tB öNä3¯Rr& tbqà)ÏÜZs? ÇËÌÈ
Artinya: “Maka demi Tuhan
langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan
terjadi) seperti Perkataan yang kamu ucapkan.” (QS. Adz-Dzariyat:23)
2.
huruf ba, seperti firman Allah SWT:
Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uÉ)ø9$# ÇÊÈ
Artinya: “Aku bersumpah
demi hari kiamat” (QS. Al-Qiyamah: 1)
Bersumpah dengan menggunakan huruf ba bisa disertai kata yang menunjukkan
sumpah, sebagaimana contoh di atas, dan boleh pula tidak menyertakan kata
sumpah, sebagaiman dalam firman Allah SWT:
tA$s% y7Ï?¨ÏèÎ6sù öNßg¨ZtÈqøî_{ tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ
Artinya:“ Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya” (QS. Shaad: 82)
Sumpah dengan menggunkan huruf ba bisa menggunakan kata terang seperti pada
dua contoh di atas, dan bisa pula menggunakan kata pengganti (dhomir) sebagaimana
dalam ucapan keseharian:
ا لله ربّ و به ا حاف لينصرنّ المؤمنين
3.
huruf ta, seperti firman
Allah SWT:
tbqè=yèøgsur $yJÏ9 w tbqßJn=ôèt $Y7ÅÁtR $£JÏiB óOßg»oYø%yu 3
«!$$s? £`è=t«ó¡çFs9 $£Jtã óOçFZä. tbrçtIøÿs? ÇÎÏÈ
Artinya: “Demi Allah,
Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu
ada-adakan.”(An-Nahl: 56).
Sumpah dengan menggunakan huruf ta tidak boleh menggunakan kata yang
menunjukkan sumpah dan sesudah ta harus disebutkan kata Allah atau rabb.[6]
C.
Sebab Sumpah
(Qasam) dalam al-Qur’an
Sabab Qasam artinya sebab
sumpah, yaitu latar belakang terjadinya sumpah. Allah bersumpah dengan sesuatu,
dikarenakan sebagian manusia mengingkarinya atau mereka menganggap remeh.
Anggapan demikian lahir dari ketidaktahuan mereka tentang faedahnya, atau lupa
dan buta dari hikmah Allah Swt. Atau mungkin juga, pendapat seseorang terbalik
dengan yang sebenarnya, lalu ia berakidah tidak sesuai dengan yang ditetapkan
Allah. Kenyataan yang demikian menjadi sebab bagi Allah untuk bersumpah.[7]
Memperhatikan
keterangan di atas, tampak bahwa terjadinya sumpah antara lain karena adanya
penolakan terhadap sesuatu yang dikemukakan, yaitu al-Qur’an. Ternyata
al-Qur’an memang menjelaskan tentang situasi umat zaman dahulu sehingga perlu
adanya penekanan untuk meyakinkan orang yang menerima informasi. Selanjutnya,
terjadinya sumpah dalam al-Qur’an terdapat tujuan yang melebihi dari apa yang
dijelaskan di atas, yaitu untuk dipikirkan dan diteliti. Hal ini akan membawa
mereka kepada keyakinan yang kuat.[8]
D.
Macam-macam
sumpah
Qasam dalam al-Qur’an ada dua macam.
Sebagaimana Manna’ Al-Qaththan yang dikutip oleh Hasan Zaini dan Radhiatul
Hasnah bahwa Qasam itu adakalanya zhahir dan adakalanya mudmar.[9]
1. Zhahir, ialah sumpah
di dlamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya
ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena
dicukupkan dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta. Seperti dalam firman Allah
SWT:
Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat,
dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat
menyesali (dirinya sendiri).” (QS.
Al-Qiyamah: 1-2).
Dan ada juga yang didahului oleh “la hafy”,
seperti:
Artinya: “Tidak sekali-kali, Aku bersumpah
dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, Aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
(QS.
Al-Qiyamah: 1-2).
Sebagian ulama mengatakan, “la” di dua tempat
ini adalah “la nafy”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai
dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah:
“Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab
dan siksa itu tidak ada.”
Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat
berikutnya:
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan dengan
nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”.
Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut
untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu
dengah hari itu dan nafsu itu.Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah
kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur
berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat jelas, sehingga tidak lagi
memerlukan sumpah.”
Tetapi juga ada berpendapat bahwa “La”
tersebut za’idah (tambahan). Jawaban qasam dalam ayat di atas tidak
disebutkan, indikasinya adalah ayat sesudahnya (Al-Qiyamah: 3).
Penjelasannya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2. Mudhmar ialah yang di
dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih,
tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam,
seperti firman Allah:
Artinya: Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga)
kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati. jika kamu
bersabar dan bertakwa, Maka
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan
yang patut diutamakan.
(Al-Imran: 186)
Selanjutnya, apabila qasam berfungsi
untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan
sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya dalam
QS. Ali Imran ayat 187:
øÎ)ur xs{r& ª!$# t,»sVÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# ¼çm¨Zä^Íhu;çFs9 Ĩ$¨Z=Ï9 wur ¼çmtRqßJçGõ3s? çnrät7uZsù uä!#uur öNÏdÍqßgàß (#÷rutIô©$#ur ¾ÏmÎ/ $YYoÿsS WxÎ=s% (
}§ø©Î7sù $tB crçtIô±o ÇÊÑÐÈ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab
(yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia….”
Huruf “lam” pada ayat: لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس
adalah “lam qasam”, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam,
sebab “akhzu al-mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).[10]
Dan atas dasar ini pula, maka para mufassir menganggap sebagai qasam terhadap
beberapa ayat di bawah ini, di antaranya pada:
a.
QS. Al-Baqarah: 83 “Dan (ingatlah) ketika
Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain
Allah….”
b.
QS. Al-Baqarah: 84 “Dan (ingatlah) ketika
Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu
(membunuh orang)….. “
c.
QS. An-Nur: 55 “Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
shalelh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….”
C.
Unsur-unsur Qasam
Qasam terbagi menjadi tiga unsur yaitu adat qasam, muqsam bih
dan muqsam ‘alaih.
1.
Adat qasam adalah sighat yang digunkan untuk menunjukkan qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun
huruf seperti ba, ta, dan wawu sebgaai pengganti fi’il qasam. Contoh qasam
dengan memakai kata kerja, misalnya firman Allah SWT[11]:
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷r&
w ß]yèö7t ª!$# `tB ßNqßJt 4
4n?t/ #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇÌÑÈ
Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:
"Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak
demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang
benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. “(QS.
An-Nahl ayat 38)
Adat qasam yang banyak dipakai adalah wawu, sebagaimana
firman Allah SWT:
ÈûüÏnG9$#ur ÈbqçG÷¨9$#ur ÇÊÈ ÍqèÛur tûüÏZÅ ÇËÈ
Artinya: “Demi (buah) Tin
dan (buah) Zaitun dan demi bukit Sinai.” (QS. At-Tin: 1-2)
2.
Al-Muqsam bih yaitu sesuatu yang
dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai
nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nam-nama
ciptaanNya. Qasam dengan menggunakan nama Allah dalam al-Qur’an hanya terdapat
dalam tujuh tempat yaitu[12]:
a.
QS. Adz-dzariyat ayat 43 d. QS. Maryam ayat 68
b.
QS. Yunus ayat 53 e. QS. Al-Hijr ayat 92
c.
QS. At-Taghabun ayat 17 f. QS. An-Nisa ayat 65
d.
QS. Al-Ma’arij ayat 40
Misalnya firman Allah SWT:
* !$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4
¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ wÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4
¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ
Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang
dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu
adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".(QSYunus
ayat 53)
Selain pada tujuh tempat dia tas, Allah memakai qasam dengan nama-nama
ciptannya seperti dalam firman Allah SWT:
* Ixsù ÞOÅ¡ø%é& ÆìÏ%ºuqyJÎ/ ÏQqàfZ9$# ÇÐÎÈ
Artinya: “Maka aku bersumpah dengantempat beredarnya bintang-bintang”. (QS.
Al-Waqi’ah: 75).
3.
Al-muqsam ‘alaih kadang juga disebut jawab
qasam. Muqsam ‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam,
berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Di dalam Qur’an terdapat dua muqsam
‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas atau dibunag. Jenis yang pertama
terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut[13]:
ÏM»tͺ©%!$#ur #Yrös ÇÊÈ ÏM»n=ÏJ»ptø:$$sù #\ø%Ír ÇËÈ ÏM»tÌ»pgø:$$sù #Zô£ç ÇÌÈ ÏM»yJÅb¡s)ßJø9$$sù #·øBr& ÇÍÈ $oÿ©VÎ) tbrßtãqè? ×-Ï$|Ás9 ÇÎÈ ¨bÎ)ur tûïÏe$!$# ÓìÏ%ºuqs9 ÇÏÈ
Artinya: “Demi (angin)
yang menerbangkan debu dengan kuat.dan awan yang mengandung hujan, dan
kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang
membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan
Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1-6)
Jenis kedua muqsam ‘alaih atau jawab qasam dihilangkan/dibuang karena
alasan sebagai berikut:
1.
di dalam muqsam bih nya sudah terkandung makna muqsam ‘alaih.
2.
qasam tidak memerlukan jawaban karena sudah dapat dipahami dari redaksi
ayat dalam surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Contoh jenis ini dapat dilihat
mislanya dalam ayat yang berbunyi:
4ÓyÕÒ9$#ur ÇÊÈ È@ø©9$#ur #sÎ) 4ÓyÖy ÇËÈ
Artinya: “Demi waktu
matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).” (QS.
Ad-Dhuha: 1-2).
D.
Tujuan Qasam
Qasam bertujuan menegaskan
dan menguatkan khabar. Menurut
Manna al-Qhaththan, tujuan qasam dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut;
1.
Untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih.
karena itu, muqsam ‘alih berupa sesuatu yang layak untuk dijadikan sumpah,
seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan
kebenaran.
2.
Untuk menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan
kebenaran al-qur’an[14]
E.
Urgensi Qasam dalam al-Qur’an
Qasam dalam al-Qur’an bermuatan rahasia untuk
menguatkan pesan-pesan al-Qur’an yang sampai kepada manusia terutama untuk
orang yang masih ragu-ragu, menolak bahkan mengingkari kebenaran ajaran-ajaran
al-Qur’an.
Ada tiga macam pola penggunaan kalimat berita
dalam al-Qur’an, yaitu: ibtida’, thalabi, dan inkari.[15]
- Ibtida’(berita tanpa penguat), yaitu untuk orang yang netral dan wajar-wajar saja dalam menerima suatu berita, tidak ragu-ragu dan tidak mengingkarinya.
- Thalabi, yaitu untuk orang-orang yang ragu terhadap kebenaran suatu berita, sehingga berita yang disampaikan kepadanya perlu diberikan sedikit penguat yang disebut dengan kalimat thalabi atau taukid untuk meyakinkan dan menghilangkan keraguannya.
- Inkari, yaitu untuk orang-orang yang bersifat ingkar dan selalu menyangkal suatu berita, untuk kondisi seperti ini beritanya harus disertai dengan kalam inkari (diperkuat sesuai dengan kadar keingkarannya). Oleh karena itu Allah menggunakan kalimat sumpah dalam al-Qur’an, untuk menghilangkan keraguan, menegakkan hujjah dan menguatkan berita terhadap orang-orang yang seperti ini.
F.
Bersumpah dengan selain Allah
Dr. Bakri Syekh Amin dalam buku at-Ta’bir Alfan fil Qur’an bahwa sumpah
dengan selain nama Allah dihukumi dengan musyrik. Hal ini berdasarkan hadits
riwayat Umar ra, yang artinya:
ان رسول الله
صلى الله عليه وسلم : من حلف بغير الله فقد كفر او اشرك (رواه الترمذى)
“Barang siapa bersumpah
dengan selain Allah, maka berarti dia telah kafir atau musyrik.”(HR.
Tirmidzi).
اان
الله اقسم بما شا ء من خلقه و ليس لا حد ان يقسم الا با لله (رواه ابن ابي حاتم)
Dalam hadits lain disebutkan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah
bersumpah bisa dengan makhlukNya apa saja. Tetapi seorangpun tidak boleh
bersumpah selain dengan nama Allah.”(HR. Ibn Abi Hatim)
Ada pula yang mengatakan bahwa sumpah dengan selain Allah diperbolehkan
berdasarkan contoh hadits Bukhari berikut:
فكشف عن وجهه ثم اكب عليه فقبله و بكي ثم قال با
بي انت و امي و الله لا يجمع الله عليك موتتين اما الموتة التي كتبت عليك فقد متها
(رواه البخاري)
“Ketika pada saat Rasulullah SAW sayyidina Abu bakar ra membuka kain
penutup wajah Nabi SAW lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi
tubuh Beliau SAW seraya berkata: Demi ayahku, dan Engkau dan Ibuku wahai
Rasulullah....., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian
yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati.”(Shahihul Bukhari no.1184, 4187).
Namun kebanyakan ulama tetap mengharamkan bersumpah selain dengan nama
Allah
G.
Faedah Qasam
Dalam Al-Qur’an
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari
merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan
pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa menerima/mempercayainya. Jadi
apa makna sumpah dari Allah Swt tersebut.?
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu
dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah.
Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-Qur’an sehingga mereka tidak
memiliki hujjah lagi untuk membantahnya. Al-Qur’an
diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda
terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula
yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah,
guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah-fahaman, menguatkan berita,
dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.[16]
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri
berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai
tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani
disebut adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan
kalimat berita, ibtida’i, thalabi, dan ingkari.[17]
Mukhatab terkadang seorang yang berhati kosong
(khaliyuz zhanni) sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan
(hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya
tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian
dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran
pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini
sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya.
Perkataan yang demikian dinamakan thalabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi
pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai dengan
kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pernyataan demikian dinamakan inkari.
Disamping itu, qasam merupakan salah
satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran
sesuatu di dalam jiwa. al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia
mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang
meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah
qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan
kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum
dengan cara yang paling sempurna.
H. Beda
sumpah Allah dengan sumpah manusia
Selain bersumpah dengan zat-Nya, di dalam Al-Qur’an, Tuhan
pun bersumpah dengan menggunakan sebagian dari makhluk-Nya sebagai obyek-obyek
sumpah, seperti waktu, tempat, Al-Qur’an, dan benda-benda tertentu. Jika yang
menggunakan sumpah (al-muqsim) adalah manusia, maka sumpah yang
menggunakan obyek makhluk Tuhan, terlarang, karena bisa membawa pada kekufuran
atau kemusyrikan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan : Man halafa
bighair Allah faqad asyraka (barang siapa yang bersumpah dengan (menyebut)
selain Allah, maka ia musyrik). Atas dasar hadits tersebut, di dalam bersumpah,
seseorang dilarang menyebutkan muqsam bih selain Allah SWT.
Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia biasanya bersumpah
dengan sesuatu yang diagungkan dan dihormati, yakni sesuatu yang membuatnya
bisa ditimpa suatu akibat buruk apabila ia melanggar sumpahnya. Hal itu tidak
mungkin terjadi pada sumpah-sumpah Tuhan. Dengan sumpah-Nya Tuhan tidak akan
menerima akibat apa pun. Kita berlindung kepada Allah dari adanya anggapan yang
keliru, yaitu bahwa Allah bisa menerima akibat-akibat tertentu disebabkan oleh
sumpah-Nya. Menurut Muhammad Abduh, sebenarnya Allah tidak sedikit pun perlu
menguatkan pernyataan-Nya dengan bersumpah dengan sesuatu yang merupakan produk
kuasa-Nya (makhluk-Nya) sendiri. Hal ini mengingat tak ada satu pun dalam wujud
ini yang laik dihargai apabila diperbandingkan dengan penghargaan yang
seharusnya diberikan kepada-Nya[18]
Akan tetapi, mengapa di dalam Al-Qur’an dijumpai
sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan obyek dari makhluk-Nya? Pertanyaan ini
muncul terutama disebabkan oleh adanya beberapa hadits Nabi yang mengandung
larangan kepada manusia bersumpah dengan selain nama-Nya karena akan membawa
pada kemusyrikan. Lalu, apakah antara Al-Qur’an dan al-Hadits terjadi kontradiksi?
Para ulama telah beruasaha melakukan penyelesaian dalam
rangka menghilangkan adanya kesan pertentangan antara keduanya. Pertama, bahwa
pada sumpah-sumpah yang menggunakan muqsam bih berupa makhluk,
seharusnya ada kata yang dibuang, yaitu kata rabb, sehingga yang
dimaksud dengan, misalnya sumpah Tuhan wa al-Tin (Demi buah Tin)
sebenarnya adalah wa rabb al-Tin (Demi Tuhan buah Tin); kedua, bahwa
nama-nama makhluk yang digunakan Tuhan dalam sumpah-Nya itu merupakan sesuatu
yang amat penting, mengagumkan, dan mendapatkan perhatian besar bangsa Arab,
sehingga mereka pun menggunakannya dalam bersumpah. Al-Qur’an hadir dengan
membawa cita rasa sastera, wawasan pengetahuan dan tradisi mereka, maka Tuhan
pun menjadikan benda-benda itu sebagai obyek sumpah; dan ketiga, obyek yang
digunkan dalam bersumpah harus merupakan sesuatu yang diagungkan atau disucikan
dan derajatnya lebih tinggi dari yang menggunakan, sedangkan kenyataannya tidak
ada lagi sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan. Maka, ia dapat saja dengan bebas
menggunakan segala sesuatu sebagai obyek sumpah, baik nama diri atau zat-Nya
maupun makhuk-Nya.
Jadi, meskipun terdapat sumpah-sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an
yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah, tetapi manusia tetap
dilarang menggunakan hal yang sama. Ketentuan sepeerti itu hanya berlaku bagi
Tuhan. Tuhan bisa saja melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, termasuk
bersumpah dengan zat-Nya atau dengan ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah mengapa
Tuhan hanya memilih dan menetapkan sebagian saja dari ciptaan-Nya, tidak
semuanya, dan mengapa obyek-obyek tertentu yang dipilih, bukan yang lain? Tentu
saja hal tersebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Karena itu, pertanyaan
lanjutannya yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah hikmah di balik
pilihan Tuhan terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan sebagai obyek dalam
sumpah-Nya?
Ibn Abi al-Ishba, juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan
: wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi dalil ’ala azhim ayatih,
bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan (menyebut) sebahagian makhluknya menunjukkan
bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung.
Dalam kata lain, hal yang disebut dalam posisi muqsam bih itu memang
sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia
yang merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, manakala Tuhan bersumpah, misalnya dalam
QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi, maka terjemahan ungkapan tersebut
yang paling tepat adalah ”alangkah pentingnya matahari itu”, bukan ”demi
matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya
oleh Tuhan dalam sumpah-Nya itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil
bahwa ia termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar
manusia benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu
dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusi. Dalam
langkah selanjutnya, manusia diharapkan mampu melakukan penelitian untuk
mengetahui secara akademik di mana letak atau posisi pentingnya keberadaan
matahari. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu menangkap makna penting
dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat Islam menangkap dengan tepat
makna pentingnya kata ”al-’Ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih
dalam sumpah Tuhan pada QS. Al-’Ashr/103, ayat 1 ? Sudahkah umat Islam memahami
keseluruhan muqsam bih dalam sumpah-Nya yang menyebutkan
makhluk-makhluk-Nya? Wallahu a’lam. Namun seyogianya umat Islam, terutama para
pakar Al-Qur’an, memahami makna pentingnya muqsam bih-muqsam bih dalam
sumpah Tuhan itu, agar mereka mampu menangkap yang lebih dalam lagi, yaitu ”wa
aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi tufidu li’uzhmat al-Khaliq (bahwa
sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebagian makhluk-Nya membawa faedah pada
pengagungan Tuhan Maha Pencipta). Inilah makna terpenting dari sumpah-sumpah
Tuhan yang menggunakan makhluk ciptaan-Nya.
Muhammad Abduh berkomentar, sekiranya kita meneliti kembali
sumpah-sumpah Tuhan dalm Al-Qur’an, akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan
Tuhan bersumpah mestilah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan
akan faedahnya dan ketidakmampuan dalam menangkap ’ibrah (pelajaran)
yang dikandungnya, atau disebabkan oleh kebutaan terhadap kandungan hikmah
Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya,
sehingga melampaui kebenaran yang telah ditetapkan oleh-Nya terhadapnya.
I. Peranannya
dalam memahami/menafsirkan al-Qur’an
Manna al-Quththan[19] berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin
ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab
atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;
1.
Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim
(pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
2.
Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim,
maka dinamakan thalaby.
3.
Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar
dinamakandengan inkary.
Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan
suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya
dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam
bersumpah adalah:
1.
Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang
dijadikan landasan atau dasar sumpah).
2.
Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih
(sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.[20]
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam
keadaan berikut:
1.
Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih)
itu adalah sesuatu yang penting.
2.
Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak
bicara).
3.
Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang
diajak bicara)
Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul
Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara
hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari
konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang
dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya
transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama
(tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan
universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat
lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap
zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang
tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan
yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan
Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun
sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua
franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan
dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya
berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya
kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.[21]
Ada pertanyaan yang menarik yang
dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan asSayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an
bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma
saja kalimat sumpah dalam alQur’an yang ditujukan kepada orang kafir.
Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi[22]
berargumentasi bahwa alQur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan
kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika
menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi
berpendapat al-qasam dalam al-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan
argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu
bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga
tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan
QS.1O:53.[23]
Alasan yang dipakai as-Sayuthi
terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran
strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi
strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning)
adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang
menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti
alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal
dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’
petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya
penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa
‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun sebagai kitab suci seperti
yang digagas Mohammed Arkoun[24],
al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai
situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati.
Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia
yang ‘diajak bicara’.
Sumpah (qasam) dalam ucapan
sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang
diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa
menerima/mempercayainya. Apakah makna sumpah dari Allah SWT? Abu Al-Qasim
Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua
cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam
Al-qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya.
Al-qur’an diturunkan untuk seluruh
manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya
ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi.
Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan,
melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan
cara paling sempurna.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur
untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qur’an
al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang
bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang
mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam
Kalamullah untuk menghilangkan keraguan, kesalahpahaman, menegakkan hujjah,
menguatkan khabar dan menerapkan hukum dengan cara paling sempurna.
BAB III
KESIMPULAN
Aqsamul Qur’an adalah salah
satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti,
maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.
Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam ada tiga, yaitu huruf wawu, huruf ba,
dan huruf ta.
Sabab Qasam artinya sebab
sumpah, yaitu latar belakang terjadinya sumpah. Allah bersumpah dengan sesuatu,
dikarenakan sebagian manusia mengingkarinya atau mereka menganggap remeh.
Anggapan demikian lahir dari ketidaktahuan mereka tentang faedahnya, atau lupa
dan buta dari hikmah Allah Swt. Atau mungkin juga, pendapat seseorang terbalik
dengan yang sebenarnya, lalu ia berakidah tidak sesuai dengan yang ditetapkan
Allah. Kenyataan yang demikian menjadi sebab bagi Allah untuk bersumpah.
Qasam dalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu Zhahir
dan Mudhmar. Qasam terbagi menjadi tiga
unsur yaitu adat qasam, muqsam bih dan muqsam ‘alaih. Qasam bertujuan menegaskan dan menguatkan khabar. Ada tiga macam
pola penggunaan kalimat berita dalam al-Qur’an, yaitu: ibtida’, thalabi, dan
inkari.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Tradisi, Kemodernan dan
Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS, 1996)
Didin Syaefuddin Buchori. Pedoman Memahami Kandungan
Al-Qur’an. (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005)
Hasan Mansur Nasution, Rahasia
Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khazanah
Baru, 2002)
------------------------------, Rahasia
Sumpah Allah, (Bandung: Mizan, 1992)
Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulum
al-Qur’an, (Batusangkar, STAIN Batu
sanggkar, 2011)
Jalaluddin
‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj:
Abdul Wahab,
(Yogyakarta: Wacana Persada, 2000)
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi
Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009)
Manna’ Khalil
Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka
Lentera Antar
Nusa, 2010)
Miftah Faridl
dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an sumber hukum Islam yang Pertama,
(Bandung :
Pustaka, 1410 H)
Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, (Jakarta: INIS. 1994)
Muhammad
Abduh, Tafsir Juz ’Amma, (t. th,)
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Ulumul
Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000)
Muhammad Chirzin, M.Ag. Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT Dhana
Bhakti Prima Yasa, 1998)
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Suhadi, ulumul qur’an, Nora Media Interprise.kudus, 2011
[1] Hasan
Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta:
Khazanah Baru, 2002), h. 3
[2]
Ibid.
[3] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2010), hal. 413
[5] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an
sumber hukum Islam yang Pertama, (Bandung : Pustaka, 1410 H), hal. 159
[6] Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.
(Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998) hal 136-137.
[7] Hasan
Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta:
Khazanah Baru, 2002), hal 9.
[9] Hasan
Zaini dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batusangkar, STAIN
Batusanggkar, 2011), h. 157
[10] Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 375
[12] Didin Syaefuddin Buchori. Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an.
(Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005)hal. 176.
[15] Hasan
Zaini dan Radhiyatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batu Sangkar: STAIN Batu
Sangkar Press, 2010), h. 162
[17] Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul
Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 205
[20] Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 205
[22] Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar
as-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab, (Yogyakarta:
Wacana Persada, 2000), h. 259
[24] Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS. 1994), h. 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar