Minggu, 01 Februari 2015

ullumul quran : (Rahasia Sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an)




AL-QASAM FIL QUR’AN
(Rahasia Sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an)

Disusun Oleh :
Irvan Khoiri
1422010030

Program Studi      : Ilmu Tarbiyah
Konsentrasi                   : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah                   : Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu : Dr. H. Arpandi, Lc. MA



PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
2014 M/ 1436 H



BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kumpulan dari firman-firman Allah yang berperan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil, penjelas bagi segala sesuatu, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mempunyai cakupan yang sangat luas, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat.
Berbagai macam masalah yang dibicarakan Al-Qur’an, di antaranya adalah tentang sumpah (qasam) Allah Swt. Seseorang boleh saja merasa heran, mengapa Allah banyak bersumpah dalam Al-Qur’an, baik bersumpah dengan diri-Nya sendiri ataupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Keheranan tersebut muncul karena mereka tidak mempelajari idiom Al-Qur’an. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah: Apakah yang dimaksud dengan sumpah Allah dan apa unsur-unsur yang membentuknya? Ayat-ayat mana yang termasuk sumpah Allah dan kenapa Allah bersumpah?Tentang apa Allah bersumpah?, dan lain sebagainya.[1]
Dalam mencari bentuk-bentuk kata yang berarti sumpah, berpedoman pada al-Qur’an dan terjemahnya. Sebagai pegangan awal, kata yang berkaitan dengan Uqsimu ditemukan 24 kali, halaf  12 kali, yamin 24 kali. Perlu diperhatikan juga sumpah yang berasal dari huruf. Menurut Ibnu Khalawaih huruf sumpah ada empat macam, yaitu: waw, ba’, ta, dan hamzah. Tetapi yang ditemukan dalam al-Qur’an kata yang berarti sumpah hanya tiga huruf yang pertama, karena huruf hamzah diterjemahkan dengan “apakah” sebagai huruf istifham. Secara umum sumpah yang dimaksud dapat berupa sumpah Allah, manusia, dan setan, yang kesemuanya terdapat dalam al-Qur’an.[2]








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aqsamul Qur’an
Secara etimologi aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam. Kata qasam memiliki makna yang sama dengan dua kata lain yaitu: halaf dan yamin yang berarti sumpah. Sumpah dinamakan juga dengan yamin karena kebiasaan orang Arab ketika bersumpah saling memegang tangan kanannya masing-masing.[3]
Sedangkan secara terminologi aqsamul Qur’an adalah ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Qur’an. Kemudian yang dimaksud sumpah sendiri adalah sesuatu yang digunakan untuk menguatkan pembicaraan. Menurut al-Jurjani seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution sumpah adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan salah satu dari dua berita dengan menyebutkan nama Allah atau sifatnya.[4] Lain halnya dengan Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, menurut mereka sumpah adalah salah satu alat taukid yang cukup efektif didalam kelaziman perhubungan atau komunikasi.[5]
Jika demikian, maka yang dimaksud dengan aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain pengertian diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan dengan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa atau yamana.
Contoh penggunaan kedua kata tadi antara lain sebagai berikut:
tPöqtƒ ãNåkçZyèö7tƒ ª!$# $YèÏHsd tbqàÿÎ=ósuŠsù ¼çms9 $yJx. tbqàÿÎ=øts ö/ä3s9 ( tbqç7|¡øtsur öNåk¨Xr& 4n?tã >äóÓx« 4 Iwr& öNåk¨XÎ) ãNèd tbqç/É»s3ø9$# ÇÊÑÈ
  

Artinya:
“(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Mujadilah:18) 
¼çm¯RÎ)ur ÒO|¡s)s9 öq©9 tbqßJn=÷ès? íOŠÏàtã ÇÐÏÈ
   Artinya:
“Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui”.(Al-Waqi’ah: 76)

B.     Huruf-huruf Qasam
Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam ada tiga.
1.      huruf wawu, seperti dalam firman Allah SWT:
Éb>uuqsù Ïä!$uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ¼çm¯RÎ) A,yss9 Ÿ@÷WÏiB !$tB öNä3¯Rr& tbqà)ÏÜZs? ÇËÌÈ
Artinya: “Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti Perkataan yang kamu ucapkan.” (QS. Adz-Dzariyat:23)
2.      huruf ba, seperti firman Allah SWT:
Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÊÈ  
Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat” (QS. Al-Qiyamah: 1)
Bersumpah dengan menggunakan huruf ba bisa disertai kata yang menunjukkan sumpah, sebagaimana contoh di atas, dan boleh pula tidak menyertakan kata sumpah, sebagaiman dalam firman Allah SWT:
tA$s% y7Ï?¨ÏèÎ6sù öNßg¨ZtƒÈqøî_{ tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ  
Artinya:“ Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Shaad: 82)
Sumpah dengan menggunkan huruf ba bisa menggunakan kata terang seperti pada dua contoh di atas, dan bisa pula menggunakan kata pengganti (dhomir) sebagaimana dalam ucapan keseharian:
ا لله ربّ و به ا حاف لينصرنّ المؤمنين
3.      huruf ta, seperti firman Allah SWT:
tbqè=yèøgsur $yJÏ9 Ÿw tbqßJn=ôètƒ $Y7ŠÅÁtR $£JÏiB óOßg»oYø%yu 3 «!$$s? £`è=t«ó¡çFs9 $£Jtã óOçFZä. tbrçŽtIøÿs? ÇÎÏÈ  
Artinya: “Demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu
ada-adakan.”(An-Nahl: 56).
Sumpah dengan menggunakan huruf ta tidak boleh menggunakan kata yang menunjukkan sumpah dan sesudah ta harus disebutkan kata Allah atau rabb.[6]
C.    Sebab Sumpah (Qasam) dalam al-Qur’an
Sabab Qasam artinya sebab sumpah, yaitu latar belakang terjadinya sumpah. Allah bersumpah dengan sesuatu, dikarenakan sebagian manusia mengingkarinya atau mereka menganggap remeh. Anggapan demikian lahir dari ketidaktahuan mereka tentang faedahnya, atau lupa dan buta dari hikmah Allah Swt. Atau mungkin juga, pendapat seseorang terbalik dengan yang sebenarnya, lalu ia berakidah tidak sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Kenyataan yang demikian menjadi sebab bagi Allah untuk bersumpah.[7]
Memperhatikan keterangan di atas, tampak bahwa terjadinya sumpah antara lain karena adanya penolakan terhadap sesuatu yang dikemukakan, yaitu al-Qur’an. Ternyata al-Qur’an memang menjelaskan tentang situasi umat zaman dahulu sehingga perlu adanya penekanan untuk meyakinkan orang yang menerima informasi. Selanjutnya, terjadinya sumpah dalam al-Qur’an terdapat tujuan yang melebihi dari apa yang dijelaskan di atas, yaitu untuk dipikirkan dan diteliti. Hal ini akan membawa mereka kepada keyakinan yang kuat.[8]

D.    Macam-macam sumpah
Qasam dalam al-Qur’an ada dua macam. Sebagaimana Manna’ Al-Qaththan yang dikutip oleh Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah bahwa Qasam itu adakalanya zhahir dan adakalanya mudmar.[9]
1.      Zhahir, ialah sumpah di dlamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta. Seperti dalam firman Allah SWT: 

Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat
   menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 1-2).
Dan ada juga yang didahului oleh “la hafy”, seperti:

Artinya: “Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, Aku
    bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
    (QS. Al-Qiyamah: 1-2).
Sebagian ulama mengatakan, “la” di dua tempat ini adalah “la nafy”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah:
“Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.”
Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya:
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”.
Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengah hari itu dan nafsu itu.Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.”
Tetapi juga ada berpendapat bahwa “La” tersebut za’idah (tambahan). Jawaban qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasinya adalah ayat sesudahnya (Al-Qiyamah: 3). Penjelasannya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2.      Mudhmar ialah yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah:

Artinya: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga)
 kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.
(Al-Imran: 186)

Selanjutnya, apabila qasam berfungsi untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya dalam QS. Ali Imran ayat 187:
øŒÎ)ur xs{r& ª!$# t,»sVŠÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# ¼çm¨Zä^ÍhŠu;çFs9 Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur ¼çmtRqßJçGõ3s? çnrät7uZsù uä!#uur öNÏdÍqßgàß (#÷ruŽtIô©$#ur ¾ÏmÎ/ $YYoÿsS WxŠÎ=s% ( }§ø©Î7sù $tB šcrçŽtIô±o ÇÊÑÐÈ  
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
   kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia….”

Huruf “lam” pada ayat:   لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس  adalah “lam qasam”, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).[10] Dan atas dasar ini pula, maka para mufassir menganggap sebagai qasam terhadap beberapa ayat di bawah ini, di antaranya pada:
a.       QS. Al-Baqarah: 83 “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah….
b.      QS. Al-Baqarah: 84 “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…..
c.       QS. An-Nur: 55 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalelh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….

C.    Unsur-unsur Qasam
Qasam terbagi menjadi tiga unsur yaitu adat qasam, muqsam bih dan muqsam ‘alaih.
1.      Adat qasam adalah sighat yang digunkan untuk menunjukkan qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun huruf seperti ba, ta, dan wawu sebgaai pengganti fi’il qasam. Contoh qasam dengan memakai kata kerja, misalnya firman Allah SWT[11]:
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷ƒr&   Ÿw ß]yèö7tƒ ª!$# `tB ßNqßJtƒ 4 4n?t/ #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÌÑÈ
   Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. “(QS. An-Nahl ayat 38)
Adat qasam yang banyak dipakai adalah wawu, sebagaimana firman Allah SWT:
ÈûüÏnG9$#ur ÈbqçG÷ƒ¨9$#ur ÇÊÈ   ÍqèÛur tûüÏZÅ ÇËÈ  
Artinya: “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun dan demi bukit Sinai.” (QS. At-Tin: 1-2)
2.      Al-Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nam-nama ciptaanNya. Qasam dengan menggunakan nama Allah dalam al-Qur’an hanya terdapat dalam tujuh tempat yaitu[12]:
a.       QS. Adz-dzariyat ayat 43 d. QS. Maryam ayat 68
b.      QS. Yunus ayat 53 e. QS. Al-Hijr ayat 92
c.       QS. At-Taghabun ayat 17 f. QS. An-Nisa ayat 65
d.      QS. Al-Ma’arij ayat 40
Misalnya firman Allah SWT:
* !$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  
Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".(QSYunus ayat 53)
Selain pada tujuh tempat dia tas, Allah memakai qasam dengan nama-nama ciptannya seperti dalam firman Allah SWT:
* Ixsù ÞOÅ¡ø%é& ÆìÏ%ºuqyJÎ/ ÏQqàfZ9$# ÇÐÎÈ  
Artinya: “Maka aku bersumpah dengantempat beredarnya bintang-bintang”. (QS. Al-Waqi’ah: 75).
3.      Al-muqsam ‘alaih kadang juga disebut jawab qasam. Muqsam ‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Di dalam Qur’an terdapat dua muqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas atau dibunag. Jenis yang pertama terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut[13]:
ÏM»tƒÍº©%!$#ur #YrösŒ ÇÊÈ   ÏM»n=ÏJ»ptø:$$sù #\ø%Ír ÇËÈ   ÏM»tƒÌ»pgø:$$sù #ZŽô£ç ÇÌÈ   ÏM»yJÅb¡s)ßJø9$$sù #·øBr& ÇÍÈ   $oÿ©VÎ) tbrßtãqè? ×-ÏŠ$|Ás9 ÇÎÈ   ¨bÎ)ur tûïÏe$!$# ÓìÏ%ºuqs9 ÇÏÈ
   Artinya: “Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat.dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1-6)
Jenis kedua muqsam ‘alaih atau jawab qasam dihilangkan/dibuang karena alasan sebagai berikut:
1.      di dalam muqsam bih nya sudah terkandung makna muqsam ‘alaih.
2.      qasam tidak memerlukan jawaban karena sudah dapat dipahami dari redaksi ayat dalam surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Contoh jenis ini dapat dilihat mislanya dalam ayat yang berbunyi:
4ÓyÕÒ9$#ur ÇÊÈ   È@ø©9$#ur #sŒÎ) 4ÓyÖy ÇËÈ
   Artinya: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).” (QS. Ad-Dhuha: 1-2).
D.    Tujuan Qasam
Qasam bertujuan menegaskan dan menguatkan khabar. Menurut Manna al-Qhaththan, tujuan qasam dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut;
1.      Untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih. karena itu, muqsam ‘alih berupa sesuatu yang layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan kebenaran.
2.      Untuk menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran al-qur’an[14]
E.     Urgensi Qasam dalam al-Qur’an

Qasam dalam al-Qur’an bermuatan rahasia untuk menguatkan pesan-pesan al-Qur’an yang sampai kepada manusia terutama untuk orang yang masih ragu-ragu, menolak bahkan mengingkari kebenaran ajaran-ajaran al-Qur’an.
Ada tiga macam pola penggunaan kalimat berita dalam al-Qur’an, yaitu: ibtida’, thalabi, dan inkari.[15]
  1. Ibtida’(berita tanpa penguat), yaitu untuk orang yang netral dan wajar-wajar saja dalam menerima suatu berita, tidak ragu-ragu dan tidak mengingkarinya.
  2. Thalabi, yaitu untuk orang-orang yang ragu terhadap kebenaran suatu berita, sehingga berita yang disampaikan kepadanya perlu diberikan sedikit penguat yang disebut dengan kalimat thalabi atau taukid untuk meyakinkan dan menghilangkan keraguannya.
  3. Inkari, yaitu untuk orang-orang yang bersifat ingkar dan selalu menyangkal suatu berita, untuk kondisi seperti ini beritanya harus disertai dengan kalam inkari (diperkuat sesuai dengan kadar keingkarannya). Oleh karena itu Allah menggunakan kalimat sumpah dalam al-Qur’an, untuk menghilangkan keraguan, menegakkan hujjah dan menguatkan berita  terhadap orang-orang yang seperti ini.
F.     Bersumpah dengan selain Allah
Dr. Bakri Syekh Amin dalam buku at-Ta’bir Alfan fil Qur’an bahwa sumpah dengan selain nama Allah dihukumi dengan musyrik. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Umar ra, yang artinya:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم : من حلف بغير الله فقد كفر او اشرك (رواه الترمذى)
Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka berarti dia telah kafir atau musyrik.”(HR. Tirmidzi).
اان الله اقسم بما شا ء من خلقه و ليس لا حد ان يقسم الا با لله (رواه ابن ابي حاتم)
Dalam hadits lain disebutkan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah bersumpah bisa dengan makhlukNya apa saja. Tetapi seorangpun tidak boleh bersumpah selain dengan nama Allah.”(HR. Ibn Abi Hatim)
Ada pula yang mengatakan bahwa sumpah dengan selain Allah diperbolehkan berdasarkan contoh hadits Bukhari berikut:
فكشف عن وجهه ثم اكب عليه فقبله و بكي ثم قال با بي انت و امي و الله لا يجمع الله عليك موتتين اما الموتة التي كتبت عليك فقد متها (رواه البخاري)
“Ketika pada saat Rasulullah SAW sayyidina Abu bakar ra membuka kain penutup wajah Nabi SAW lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh Beliau SAW seraya berkata: Demi ayahku, dan Engkau dan Ibuku wahai Rasulullah....., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati.”(Shahihul Bukhari no.1184, 4187).
Namun kebanyakan ulama tetap mengharamkan bersumpah selain dengan nama Allah
G.    Faedah Qasam Dalam Al-Qur’an
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa menerima/mempercayainya. Jadi apa makna sumpah dari Allah Swt tersebut.?
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-Qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya. Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah-fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.[16]
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita, ibtida’i, thalabi, dan ingkari.[17]
Mukhatab terkadang seorang yang berhati kosong (khaliyuz zhanni) sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan yang demikian dinamakan thalabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai dengan kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pernyataan demikian dinamakan inkari.
Disamping itu, qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.

H.    Beda sumpah Allah dengan sumpah manusia
Selain bersumpah dengan zat-Nya, di dalam Al-Qur’an, Tuhan pun bersumpah dengan menggunakan sebagian dari makhluk-Nya sebagai obyek-obyek sumpah, seperti waktu, tempat, Al-Qur’an, dan benda-benda tertentu. Jika yang menggunakan sumpah (al-muqsim) adalah manusia, maka sumpah yang menggunakan obyek makhluk Tuhan, terlarang, karena bisa membawa pada kekufuran atau kemusyrikan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan : Man halafa bighair Allah faqad asyraka (barang siapa yang bersumpah dengan (menyebut) selain Allah, maka ia musyrik). Atas dasar hadits tersebut, di dalam bersumpah, seseorang dilarang menyebutkan muqsam bih selain Allah SWT.
Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia biasanya bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dan dihormati, yakni sesuatu yang membuatnya bisa ditimpa suatu akibat buruk apabila ia melanggar sumpahnya. Hal itu tidak mungkin terjadi pada sumpah-sumpah Tuhan. Dengan sumpah-Nya Tuhan tidak akan menerima akibat apa pun. Kita berlindung kepada Allah dari adanya anggapan yang keliru, yaitu bahwa Allah bisa menerima akibat-akibat tertentu disebabkan oleh sumpah-Nya. Menurut Muhammad Abduh, sebenarnya Allah tidak sedikit pun perlu menguatkan pernyataan-Nya dengan bersumpah dengan sesuatu yang merupakan produk kuasa-Nya (makhluk-Nya) sendiri. Hal ini mengingat tak ada satu pun dalam wujud ini yang laik dihargai apabila diperbandingkan dengan penghargaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya[18]
Akan tetapi, mengapa di dalam Al-Qur’an dijumpai sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan obyek dari makhluk-Nya? Pertanyaan ini muncul terutama disebabkan oleh adanya beberapa hadits Nabi yang mengandung larangan kepada manusia bersumpah dengan selain nama-Nya karena akan membawa pada kemusyrikan. Lalu, apakah antara Al-Qur’an dan al-Hadits terjadi kontradiksi?
Para ulama telah beruasaha melakukan penyelesaian dalam rangka menghilangkan adanya kesan pertentangan antara keduanya. Pertama, bahwa pada sumpah-sumpah yang menggunakan muqsam bih berupa makhluk, seharusnya ada kata yang dibuang, yaitu kata rabb, sehingga yang dimaksud dengan, misalnya sumpah Tuhan wa al-Tin (Demi buah Tin) sebenarnya adalah wa rabb al-Tin (Demi Tuhan buah Tin); kedua, bahwa nama-nama makhluk yang digunakan Tuhan dalam sumpah-Nya itu merupakan sesuatu yang amat penting, mengagumkan, dan mendapatkan perhatian besar bangsa Arab, sehingga mereka pun menggunakannya dalam bersumpah. Al-Qur’an hadir dengan membawa cita rasa sastera, wawasan pengetahuan dan tradisi mereka, maka Tuhan pun menjadikan benda-benda itu sebagai obyek sumpah; dan ketiga, obyek yang digunkan dalam bersumpah harus merupakan sesuatu yang diagungkan atau disucikan dan derajatnya lebih tinggi dari yang menggunakan, sedangkan kenyataannya tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan. Maka, ia dapat saja dengan bebas menggunakan segala sesuatu sebagai obyek sumpah, baik nama diri atau zat-Nya maupun makhuk-Nya.
Jadi, meskipun terdapat sumpah-sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah, tetapi manusia tetap dilarang menggunakan hal yang sama. Ketentuan sepeerti itu hanya berlaku bagi Tuhan. Tuhan bisa saja melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, termasuk bersumpah dengan zat-Nya atau dengan ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan hanya memilih dan menetapkan sebagian saja dari ciptaan-Nya, tidak semuanya, dan mengapa obyek-obyek tertentu yang dipilih, bukan yang lain? Tentu saja hal tersebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Karena itu, pertanyaan lanjutannya yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah hikmah di balik pilihan Tuhan terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan sebagai obyek dalam sumpah-Nya?
Ibn Abi al-Ishba, juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan : wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi dalil ’ala azhim ayatih, bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan (menyebut) sebahagian makhluknya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung. Dalam kata lain, hal yang disebut dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia yang merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, manakala Tuhan bersumpah, misalnya dalam QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi, maka terjemahan ungkapan tersebut yang paling tepat adalah ”alangkah pentingnya matahari itu”, bukan ”demi matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Tuhan dalam sumpah-Nya itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil bahwa ia termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar manusia benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusi. Dalam langkah selanjutnya, manusia diharapkan mampu melakukan penelitian untuk mengetahui secara akademik di mana letak atau posisi pentingnya keberadaan matahari. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu menangkap makna penting dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat Islam menangkap dengan tepat makna pentingnya kata ”al-’Ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpah Tuhan pada QS. Al-’Ashr/103, ayat 1 ? Sudahkah umat Islam memahami keseluruhan muqsam bih dalam sumpah-Nya yang menyebutkan makhluk-makhluk-Nya? Wallahu a’lam. Namun seyogianya umat Islam, terutama para pakar Al-Qur’an, memahami makna pentingnya muqsam bih-muqsam bih dalam sumpah Tuhan itu, agar mereka mampu menangkap yang lebih dalam lagi, yaitu ”wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi tufidu li’uzhmat al-Khaliq (bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebagian makhluk-Nya membawa faedah pada pengagungan Tuhan Maha Pencipta). Inilah makna terpenting dari sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan makhluk ciptaan-Nya.
Muhammad Abduh berkomentar, sekiranya kita meneliti kembali sumpah-sumpah Tuhan dalm Al-Qur’an, akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan Tuhan bersumpah mestilah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faedahnya dan ketidakmampuan dalam menangkap ’ibrah (pelajaran) yang dikandungnya, atau disebabkan oleh kebutaan terhadap kandungan hikmah Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya, sehingga melampaui kebenaran yang telah ditetapkan oleh-Nya terhadapnya.

I.       Peranannya dalam memahami/menafsirkan al-Qur’an
Manna al-Quththan[19] berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;
1.      Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
2.      Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
3.      Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.
Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:
1.      Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
2.      Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.[20]
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut:
1.      Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
2.      Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
3.      Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.[21]
Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan as­Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi[22] berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al­-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53.[23]
Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun[24], al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa menerima/mempercayainya. Apakah makna sumpah dari Allah SWT? Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya.
Al-qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qur’an al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah untuk menghilangkan keraguan, kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menerapkan hukum dengan cara paling sempurna.








BAB III
KESIMPULAN

Aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam ada tiga, yaitu huruf wawu, huruf ba, dan huruf ta.
Sabab Qasam artinya sebab sumpah, yaitu latar belakang terjadinya sumpah. Allah bersumpah dengan sesuatu, dikarenakan sebagian manusia mengingkarinya atau mereka menganggap remeh. Anggapan demikian lahir dari ketidaktahuan mereka tentang faedahnya, atau lupa dan buta dari hikmah Allah Swt. Atau mungkin juga, pendapat seseorang terbalik dengan yang sebenarnya, lalu ia berakidah tidak sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Kenyataan yang demikian menjadi sebab bagi Allah untuk bersumpah.
Qasam dalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu Zhahir dan Mudhmar. Qasam terbagi menjadi tiga unsur yaitu adat qasam, muqsam bih dan muqsam ‘alaih. Qasam bertujuan menegaskan dan menguatkan khabar. Ada tiga macam pola penggunaan kalimat berita dalam al-Qur’an, yaitu: ibtida’, thalabi, dan inkari.









DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS, 1996)
Didin Syaefuddin Buchori. Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an. (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005)
Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khazanah
Baru, 2002)
------------------------------, Rahasia Sumpah Allah, (Bandung: Mizan, 1992)
Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batusangkar, STAIN Batu
sanggkar, 2011)
Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj:
Abdul Wahab, (Yogyakarta: Wacana Persada, 2000)
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009)
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka
Lentera Antar Nusa, 2010)
Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an sumber hukum Islam yang Pertama,
(Bandung : Pustaka, 1410 H)
Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, (Jakarta: INIS. 1994)
Muhammad Abduh, Tafsir Juz ’Amma, (t. th,)
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,  2000)
Muhammad Chirzin, M.Ag. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT Dhana
Bhakti Prima Yasa, 1998)
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Suhadi, ulumul qur’an, Nora Media Interprise.kudus, 2011



[1] Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khazanah Baru, 2002), h. 3
[2] Ibid.
[3] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2010), hal. 413
[4] Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 7
[5] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an sumber hukum Islam yang Pertama, (Bandung : Pustaka, 1410 H),  hal. 159
[6] Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998) hal 136-137.
[7] Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khazanah Baru, 2002), hal 9.
[8] Ibid, h. 10
[9] Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batusangkar, STAIN Batusanggkar, 2011), h. 157
[10] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 375
[12] Didin Syaefuddin Buchori. Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an. (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005)hal. 176.
[13] Ibid, hal. 180.
[14] Suhadi, ulumul qur’an, Nora Media Interprise.kudus, 2011 hlm. 276.
[15] Hasan Zaini dan Radhiyatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batu Sangkar: STAIN Batu Sangkar Press, 2010), h. 162
[16] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.  213
[17] Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000), hal. 205
[18] Muhammad Abduh, Tafsir Juz ’Amma, (t. th,), h. 9-10
[19] Ibid., h. 213  
[20] Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000),  h. 205
[21] Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS, 1996), h. 26
[22] Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab, (Yogyakarta: Wacana Persada, 2000),  h. 259
[23] Ibid., h. 259
[24] Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS. 1994), h. 195
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar